Arsen kurang ajar.
Iya, ini masih pasal berita Arkan yang pingsan gara-gara anjing tetangga. Kan dibilang juga apa, hobi Arsen selain ngatain kembarannya adalah sebarin gosip. Di grup whatssap udah rame tuh, akhirnya Davi, Satriya, sama Teguh dateng mau jengukin.
Nggak sih, mau ikutan ngehina. Seru soalnya.
"Parah banget sama Bang Gala yang notabene Bapaknya anjing kaga ada takut-takutnya, tapi sama benda kecil lucuh gemas kayak gitu bisa pingsan, HAHAHAHA," Satriya menepuk lengan Arkan sambil ngakak kenceng banget.
"Jangan-jangan lo juga takut sama kucingnya Teguh? Itu kucing kayaknya krisis identitas, tiap gue dateng selalu menggonggong." Kadavi menyahut. Teguh dan Satriya tertawa keras.
"Udah dong, malu gue!" Arkan menepuk bahu Davi keras. "Daripada lo pas diceramahin Bang Gala diem doang!"
"Iya nih udah. Si Davi tuh kalo ketawa suka lupa dunia. Bengek-bengek dah tuh," Teguh dengan wajah datar khasnya membalas.
"Ayok lah ke kafe. Pengen ngopi," ajak Arkan.
"Lo baru pingsan, belegug. Jangan goblok," Arsen menyahut cepat. Dia bangun sambil berkacak pinggang, bersiap mengangkat remot AC kalau Arkan masih ngeyel. "Minum dulu teh angetnya. Kopa-kopi, kopa-kopi. Estetik kaga, miskin iya."
Arkan terkekeh, "tapi pengen keluar. Yaudah es burcang aja."
"Anjir, malem-malem!"
"Jangan jajan dipinggir jalan jam segini, mau cari mati? Dingin banget ini," Satriya menasihati. "Mending ke kafe tapi jangan pesan kopi. Lo pesan makan aja."
"Boleh deh. Yang penting keluar kita," Arkan yang bersemangat langsung mengambil jaketnya. Tak lupa menyemprotkan parfum punya Arsen yang dia curi pagi tadi. "Ikut nggak lo?"
"Nggak. Enakan juga di rumah. Goler-goleran, rebah-rebahan, tidur-tiduran, hehe." Arsen malah beringsut ke kasur. Arkan cuma geleng-geleng kepala.
"Pantes nggak punya pacar, kerjaannya di kamar."
"Mau kemana Bang?" Mama muncul dari balik pintu, membawa sprei dan bedcover bersih buat mengganti sprei yang sudah kucel.
"Mau keluar bentar. Jajan doang Ma, nanti pulang cepet kok. Janji. Diboncengin Satriya, nih Arkan udah pakek jaket tebel. Nanti nggak jajan sembarangan pinggir jalan, serius." Sebelum Mama menginterogasi, Arkan sudah menjelaskan panjang lebar.
Mama menghela napas pasrah. Anak bengal itu nggak bisa ditahan walau sedang sakit, ada aja acaranya. Ia akhirnya mengangguk lemas. "Jam sepuluh nggak pulang Mama coret dari kartu keluarga."
"Oke Ma, see you."
Arkan dan ketiga sohibnya keluar. Menyusuri jalanan kota yang begitu cemerlang. Cahaya lampu berpendar, Arkan menyipitkan mata kala melihat sosok yang agaknya ia kenal. Bukannya itu Stella?
"Itu Stella bukan?" Arkan menepuk bahu Satriya, cowok itu menoleh dan ikut menyipitkan mata. "Iya itu Stella deh kayaknya."
"Itu Bang Gala ngapain narik-narik kerah Stella?" beo Teguh selanjutnya.
"Kayaknya mabuk," tebak Davi. "Stella kerja di sana, apes banget dapet pelanggan kayak Bang Gala di jam segini."
"Ck. Ayo bantuin!" pekik Arkan membara. Anak itu udah ancang-ancang mau menyeberang jalan, namun lengan ketiga temannya menahan tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Barananta [Terbit]
Teen Fiction"Bagiku, yang namanya pahlawan itu orang yang tetap berdiri tegap, di manapun dia di sekap. Orang yang tak lupa darimana dia besar, dan bagaimana dia dibesarkan. Orang yang akan selalu bangkit, walau tubuhnya remuk. Dilanda jutaan sakit. Bagiku mere...