6 - Bisa Hidup tanpa Aku?

7.3K 680 11
                                    

"Nih bekal lo. Jangan jajan dikantin. Jangan ngerokok, apalagi mabok. Kalau masih bandel gue coret nama lo dari KK."

Pagi ini Arsen udah bangun duluan. Subuh-subuh dia pergi ke dapur, masak sayur dengan bantuan tutorial youtube yang kemarin malam dia unduh. Mulai hari ini harus berhenti makan makanan cepat saji, Arsen janji buat jadi koki biar Abangnya itu makan teratur juga dapat gizi.

Si Abang mengambil kotak makan yang Adiknya sodorkan. Cowok itu tersenyum manis, lalu dia masukin bekalnya ke tas. Tuperware Mama memang memalukan kalau di bawa ke sekolah, tapi Abang tau gimana perjuangan adiknya yang buta sama alat dapur itu masak buat dirinya.

"Iya, ga usah pakek coret KK kan bisa. Sebat ga sebat orang-orang kan bakal mati juga."

Arsen mengesah, "yah sulit emang ngomong sama biji semangka. Otaknya kecil, ga bisa mikir ke depannya."

Si Abang ketawa miris, "iya-iya ah becanda. Serius aja idupnya."

Arsen mengambil ranselnya yang ada di meja. Roti selai cokelat sudah habis tak bersisa daritadi dia cemilin sambil nunggu masakan matang. Jadi sekarang tinggal nunggu Abang abisin roti sama minum obat.

"Nggak usah ikut olah raga," Arsen menyarankan. "Biar nggak capek."


"Adek udah bilang kayak gitu dari kemarin. Totalnya lima puluh tiga kali," Abang menjawab jengah. "Kan gue nggak pikuuun."

"Mulai hari ini gue yang nyetir. Kalau sakit langsung bilang. Obat jangan lupa diminum," kata si adik untuk kesekian kalinya.

"Ah Sen, ini tuh gue masih hidup. Jangan diperlakuin kayak ketiup debu aja mati dong! Berasa lemah banget gue."

"Ar..." si adik mendengkus. "Nurut."

Apa lagi yang bisa dilakukan Abang kalau Adiknya sudah berkata sambil memasang wajah datar gitu? Entahlah efek kurang tidur atau memang nyebelin sedari lahir, Arkan rasanya pengin tampar muka adiknya aja. Apasih, kenapa lebay banget?

Si Abang menyerahkan kunci mobilnya ke Arsen. Dua bocah itu berjalan menuju garasi. Si Adik diam-diam memerhatikan Abangnya seksama, menelisik air muka anak itu dengan cermat. Sekarang, apapun yang masuk ke mulut Abang itu lebih sering ditolak sama badannya. Air pun kadang masih di muntahkan, lalu apa kabar sama roti selai itu? Arsen yakin, pasti abis ini Abangnya bakal lari ke kamar mandi kayak biasanya.

Tapi di sini Arsen sebetulnya dibuat bingung. Penyakit Abangnya memang terdengar mengerikan, tapi kata Om Ben asalkan Abangnya menuruti semua prosedur yang disarankan, insyaallah bisa sembuh walau waktunya tidak singkat. Lantas apa yang dilakukan Abang selama ini? Kenapa harus pura-pura biasa saja di depan adiknya? Padahal Arsen selalu menunggu, kalau tiba-tiba Abangnya mengeluh sakit yang tidak bisa dia tahan lagi. Mana? Arsen tidak pernah tau.

Rasanya seperti apa? Arsen ingin tau juga.

Sesi overthinking selesai. Mereka sampai di sekolah tepat sebelum gerbang tertutup sempurna. Pak satpam sudah disapa, hari Senin adalah hari yang menyenangkan, pelajarannya sedikit.

"Arkan pin up ya? Hari ini Teguh nggak bisa, dia sakit." Pernyataan Siwi barusan kontan membuat Abang membulatkan mata. Bukan, ini bukan kali pertama ia menjadi pin up atau pemimpin upacara, namun dengan kondisinya sekarang apa bisa Abang bertahan lebih lama? "Ar gimana? Upacara sepuluh menit lagi dan kita nggak ada pin up."

"Iya udah nggak apa-apa. Lagian gue sering jadi pin up, kenapa pakek izin segala?" jawab cowok itu sedikit ketus.

Abang bukan mau bunuh diri. Dia cuma penasaran, dengan kondisi yang sudah berbeda dari hari-hari sebelumnya, berapa lama Abang bisa bertahan? Tiga puluh menit? Empat lima? Satu jam? Mari kita buktikan.

Barananta [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang