Selain tidak suka anjing, Arkan juga tidak suka dikatai lemah.
Ini bukan masalah serius sih. Dia baru pulang nongki sama teman-teman Barananta, katanya ada challenge gitu, makan samyang pakai bon cabe. Dasarnya Arkan itu pecandu mie dan rasa pedas. Jadi kalau sudah berurusan sama dua hal itu, dia nggak mau kalah dan mundur.
Menang sih menang, tapi lihat sekarang seberapa susahnya dia bernapas.
Efeknya luar biasa, belum sempat melepas sepatupun dia sudah berlari ke kamar mandi lantai bawah. Bisa ditebak lagi ngapain. Muntah-muntah, menguras seluruh makanan yang dia paksa masuk beberapa menit lalu. Abang memang bandel, dan akan selalu begitu.
"Yak good job, COD sama malaikat maut ya Bang? Bagus banget, lanjutin bakatnya. Nanti kain kafannya nunggu PO dulu tapi," si adik menyindir abangnya penuh amarah. Salah satu tangannya memijit tengkuk Abang yang menyalurkan suhu panas.
"Bisa diam dulu nggak?" Abang menyahut sewot. Iyalah, dia lagi kesakitan gini malah diomelin. "Bacot, sumpah."
"Ini konsekuensi karena lo suruh gue diem dan nggak kasih tau Mama dan Papa. Dikasih tau baik-baik malah nyolot. Maunya gimana? Lo beneran mau mati? Makanan kayak gitu nggak sehat buat orang sehat, lah lo sekarat malah ngadi-ngadi cobain."
Arkan mengesah. Mencuci mukanya yang tanpa rona, lalu berjalan keluar. Naik ke atas, masuk kamar dan merebahkan dirinya di kasur.
"Marahnya nanti dulu, gue lagi susah napas."
"Nggak bisa. Kalau nanti-nanti bisa kebablasan. Jangan bego, Ar. Lain kali jangan ikut makan-makan kayak gitu lagi."
Arkan mendengkus, "Sen."
"Kenapa?"
Abang memejamkan mata sejenak, "menurut lo gue masih bisa ke istana negara?"
Si adik melirik Abangnya iba, "sembuh dulu. Nanti insyaallah pasti bisa. Tesnya masih lama kan?"
"Dua sampai tiga bulan lagi, kalau lolos dikarantina tiga bulan sampai Agustus. Gue bertahan nggak ya pas Indonesia ulang tahun?" Arkan mengangkat lengannya tinggi-tinggi, lalu menghantamkannya ke dada. "Sesak banget."
Arsen mengangguk yakin, dia harus menguatkan Arkan. Abangnya itu sampai pada titik jenuh lagi, "mati memang sedekat nadi, Bang, tapi menurut lo, lo akan mati semudah itu? Kalau lo menyerah sih iya, tapi kalau nggak insyallah bisa. Allah di sisi kita Bang, jangan pesimis. Kalau Abang aja pesimis, gue, Mama sama Papa gimana nanti?"
Arkan tertegun. Perkataan Arsen ada benarnya juga. Bagaimana reaksi adiknya saat ia tiada? Bagaimana Mama dan Papa? Kenapa ia begitu egois dan tidak memikirkan keluarga? Abang berusaha duduk, "maaf ya, Abang nyusahin. Harusnya lo fokus ke organisasi lo sendiri. Pemilihan ketua bentar lagi."
"Gue mau maafin lo asalakan lo nggak kayak gini lagi. Lo harus punya semangat hidup, nanti pas serah terima jabatan, lo harus ada dan kita foto bareng. Tunjukin ke Mama sama Papa kalau mereka nggak sia-sia membesarkan kita."
Arkan menarik bibirnya naik, membuat lengkungan senyum ikhlas yang ia khususkan buat Arsen agar saudaranya itu berhenti mengkhawatirkan dirinya. Arsen membalasnya dengan hal yang sama.
"Makasih Sen."
"Kita berjuang sama-sama Bang. Kalau lahirnya aja barengan, maka meninggalnya barengan juga. Sembuh ya? Janji?"
"Janji!" Abang berteriak antusias. Dia harap, dia masih bisa memenuhi janji itu. Disepanjang sisa hidupnya.
[]
"Sebelum seleksi paskibraka tiga bulan lagi, ada lomba kreasi baris berbaris Bulan April nanti, namanya lomba Samurai. Kalian pasti tahu, karena ini ajang tahunan yang bergengsi. Jumlahnya 16 peserta. Dari angkatan kami udah ada delapan, empat laki-laki dan empat perempuan. Dari kalian juga harus sama. Empat laki-laki dan empat perempuan. Mau Kakak yang pilih apa kalian yang mengajukan diri?" Itu Cindy. Senior Barananta yang satu angkatan dengan Gala. Ngomong-ngomong, dia mengemban tanggung jawab sebagai wakil ketua Barananta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Barananta [Terbit]
Teen Fiction"Bagiku, yang namanya pahlawan itu orang yang tetap berdiri tegap, di manapun dia di sekap. Orang yang tak lupa darimana dia besar, dan bagaimana dia dibesarkan. Orang yang akan selalu bangkit, walau tubuhnya remuk. Dilanda jutaan sakit. Bagiku mere...