Karena semalam Arkan tidur dengan posisi yang nggak estetik, jadinya pagi ini badan dia sakit semua. Tapi untungnya itu nggak berlangsung lama, setelah berdiri dan meregangkan tubuhnya, pegal-pegal itu sudah berkurang. Entah apa yang dimasukkan Om Benua ke obat yang dia minum sehingga semua menjadi ringan seolah tanpa beban setelah semalam dia hampir nggak bisa melek karena kelelahan. Dia membuka jendela kamar, menghirup udara segar banyak-banyak, lalu tersenyum sampai matanya hilang.
"Bangunlah wahai manusia penuh dosa!"
Arsen masih ngorok, sesekali dia garuk-garuk pipi dan menyeka ilernya, ia berpindah posisi karena hampir jatuh, sudah sampai pinggir ranjang. Abang punya ide, hari ini pasti seru kalau diawali dengan menjahili Arsen. Dia jalan hati-hati, kalu ceroboh bisa kesandung sama selang oksigen yang masih nangkring di hidungnya.
"MAN ROBBUKA!"
Abang cekikikan waktu Arsen terbangun dengan raut muka yang nggak karuan. Antara kaget dan bingung. Dia masih di kamar, belum di kuburan. Terus yang barusan nanya siapa Tuhanmu itu siapa?
"Apaan sih," begitu menyadari Abangnya berdiri, Arsen menepisnya. "Ganggu orang lagi istirahat aja!"
"Ganteng doang udah gede ga sembahyang."
Arsen mengelak, "siapa bilang? Gue udah salat tau!"
"Yah, dia mau ngibulin gue," Arkan berkacak pinggang. "Bangun ege! Kaga sekolah lu?!"
"Males, udah pinter."
"Orang sombong umurnya ga panjang."
"Orang bacot umurnya pendek."
Tanpa babibu lagi, Arkan tarik selimut Arsen dan menggelandang adiknya itu biar turun dari kasur. Jarang-jarang loh dia suka males bangun di jam segini. Biasanya udah recehin dapur, masak, nyuci piring, dan lain sebagainya. Arkan mendengkus. "Lo mau bolos?"
"Emang nggak boleh?"
"Yaudah, tulis surat sana. Ntar gue bawa," Arkan melepas selang oksigen di hidungnya. "Istirahat aja kalau capek."
"Lah, gue ga masuk buat nemenin lo kerumah sakit, bambang!"
"Buat apa? Lihat, daku sudah lebih baik dari kemarin."
Arsen mencibir, "heleh."
"Udah bolos latian dua hari, lombanya dua minggu lagi."
"Om Ben yang jadwalin," Arsen berdiri, menatap cermin besar di dekat meja belajar. "Ayo dong, katanya mau sembuh."
"Mau latihan, titik."
[]
Nggak ada cerita kalau Abang itu nggak ngeyel.
Iya, ini masih pasal latihan dan pergi ke rumah sakit sesuai anjuran Om Ben. Dia masih giat ikut kegiatan Barananta, padahal ya kalian sendiri paham lah Abang sekarang tidak sama. Jadilah Arsen yang ngikut sekolah, padahal dia lelah. Seharian ini dia nggak fokus belajar, sesekali tertidur waktu kelas dimulai, untungnya guru tidak mempermasalahkan. Abang bilang kalau adiknya itu lagi nggak enak badan, makanya dimaklumi.
Ini jam tujuh malam, Arsen masih di sana, di sisi lapangan. Nontonin Abangnya yang lagi di siksa sama senior-senior berkedok pelatih yang sok menderita di tahun sebelumnya. Arsen bisa tebak, mereka adalah langganan orang yang apabila dipojokkan akan menjawab ; ini masih belum seberapa Dek, Kakak dulu lebih berat. Disuruh lari mengelilingi benua, membangun candi, dan mengarungi samudra.
Yah, dimana-mana senior itu sama.
"Kurang dua belas hari lagi, tapi saya lihat makin kesini Arkan makin manja. Kamu udah nggak masuk latihan berapa kali?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Barananta [Terbit]
Teen Fiction"Bagiku, yang namanya pahlawan itu orang yang tetap berdiri tegap, di manapun dia di sekap. Orang yang tak lupa darimana dia besar, dan bagaimana dia dibesarkan. Orang yang akan selalu bangkit, walau tubuhnya remuk. Dilanda jutaan sakit. Bagiku mere...