Wattpad Original
Ada 7 bab gratis lagi

1

47.4K 2K 58
                                    

"Setelah serah terima kunci yang terakhir ini, Ola pulang ke Semarang, Pak."

Ola berbicara di telepon sambil menarik pensil yang menjadi tusuk konde dadakan. Gelungan rambut terurai perlahan, jatuh ke pundak hingga tengah punggung yang tertutupi kardigan nila.

"Rama tanya terus, kapan mbak-nya pulang. Dia mau pamer kerjaan baru." Suara serak dari pria pertengahan lima puluh itu menghentikan gerakan tangan Ola yang sedang menyisir rambut dengan jari. Dadanya selalu tergelitik tiap kali nama Rama disebut. Adik lelaki Ola yang selalu menjadi adik kecil untuk wanita tiga puluh tahun itu. "Pulang, Ndhuk." Panggilan lembut itu memberatkan dada si anak.

Menarik napas perlahan dan mengembuskannya lebih pelan, Ola hanya mampu menjawab, "Nggih, Pak." Panggilan terputus. Wanita itu menyandarkan punggungnya di bangku kemudi. Dia tahu, dia tidak bisa terus menerus menjalani kehidupan di dua kota.

Dari kaca tengah, dia bisa melihat wajahnya sendiri. Rambutnya telah tergerai dengan rapi, hasil gelungan tadi meninggalkan gelombang pada helaian hitam. Setelah mengulas lipstik sewarna bibir yang menjadikannya lebih segar, dia segera mengambil tas tangan dan keluar dari mobil kecilnya.

Lambaian tangan bersemangat menyambut Ola ketika masuk ke kedai kopi yang ada di salah satu sudut pusat perbelanjaan di pinggiran Jakarta Selatan, selain aroma kopi yang cukup tajam. Gemuruh es yang beradu dengan pisau blender berbaur dengan musik kekinian yang diputar, serta obrolan pengunjung.

"Ola?" Perempuan yang tiga tahun lebih tua itu berdiri, menyambut kedatangan adik kelasnya. "Makin cantik aja sekarang." Pembuka basa-basi, tetapi berhasil membuatnya tersenyum malu.

"Mbak Nana juga makin cantik." Ini sebuah pujian tulus, tapi Nana hanya mengibaskan tangan, menampik. Dengan kacamata berbingkai mata kucing, pandangan wanita itu tetap berbinar meski lingkar gelap membayang. Tubuh Nana termasuk langsing untuk ukuran ibu muda yang sudah berkali-kali hamil. "Ini anak ketiga?" Tangan Ola terjulur, menjawil dagu bayi yang sedang berdiri dengan berpegangan pada tepian meja kopi. Pipinya celemotan dengan serpihan biskuit.

"Anak keempat," seloroh santai itu berhasil membuat Ola melotot. "Duduk dulu, kamu mau pesan apa?"

Ola menurut, duduk sambil mengangkat anak keempat Nana yang memakai bandana kelinci biru ke pangkuannya. Bayi itu bersandar tenang pada tubuh Ola sambil memainkan rambut. Wanita itu tidak keberatan, meskipun remahan roti lengket pada ikalnya.

Nana adalah klien pertama Ola, yang mengenalkan padanya keseruan menjadi agen properti. Dulu mereka tinggal di indekos yang sama. Ola memasuki semester tujuh, sedangkan Nana adalah mahasiswa S2 di Institut Teknologi Pasundan. Ketika magister teknik sipil itu hendak menikah dan kebingungan mencari rumah di sekitar kampus, Ola menawarkan bantuan untuk mencarikan. Tepat sebulan sebelum akad, suami Nana menandatangi kontrak jual beli rumah dengan Ola sebagai perantara. Hanya sebuah rumah kecil, di sebuah gang dengan satu kamar tidur.

Satu tahun kemudian Nana hamil pertama dan Ola mendapatkan gelar sarjana, permintaan bantuan kembali bergulir. Saat itu, Ola bukan saja membantu mencarikan tempat baru untuk keluarga yang mulai berkembang, tetapi juga membantu menjualkan properti yang lama. Sejak saat itu, sampai kini, delapan tahun kemudian, Ola telah membantu ratusan orang menemukan tempat tinggal.

"Kamu masih jadi broker, kan?" pertanyaan yang sedari tadi Ola antisipasi akhirnya keluar setelah lima belas menit mereka mengobrol tentang tiga tahun yang terlewat tanpa pertemuan.

"Iya, tapi sekarang aku nggak bikin promis dulu, Mbak." Tangan Ola masih bermain dengan jari-jari Lav, bayi Nana, yang sedang menyusu ke ibunya di balik nursing cover putih dengan motif bunga sakura. "Mungkin bulan depan aku pindah ke Semarang." Ola menjelaskan sebelum ditanya.

Dijual Cepat Tanpa PerantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang