Bandung, Sepuluh Tahun Lalu
Ini adalah ketiga kalinya Tommy parkir di sisi barat kampus, berjalan melewati gedung kuliah fakultas Teknik Sipil, untuk menuju gedung kuliahnya sendiri, Arsitektur, yang ada di sisi timur. Orientasi Keluarga Mahasiswa Baru telah selesai dari minggu lalu, yang artinya, tidak ada lagi kesempatan untuk bertemu dengan Rafiola, si Mata Bulat yang bertugas di satu pos dengan Tommy.
Jika strategi bodohnya ini tidak juga berhasil, mungkin dia harus bertanya nomor ponsel Ola ke temannya sesama panitia, atau mungkin mulai mencari tahu jadwal kuliah gadis mungil itu. Tommy selalu diam ketika Ola dan teman-teman panitia di pos mengobrol. Karena itu, sampai kegiatan selesai dia masih belum berhasil mendapatkan informasi apa pun tentang Ola si Mata Bulat. Sejauh ini yang Tommy tahu Ola adalah mahasiswi semester lima, sama seperti Tommy. Namun, si gadis adalah calon insinyur di Fakultas Teknik Sipil.
Selain itu? Dia sama sekali tidak tahu.
Tidak! Ada satu lagi yang Tommy tahu, Rafiola Ghaniya adalah pecinta kucing. Apakah Tommy harus mencari tempat kucing berkumpul di sekitar gedung kuliah Teknik Sipil? Sepertinya itu lebih bodoh lagi.
Namun, kakinya tetap melangkah ke kantin, tempat makanan tersedia dan kucing-kucing liar mungkin berkumpul.
Derapnya melambat, rambut yang seminggu lalu hampir selalu tersimpan di topi kini menjuntai, nyaris menyapu lantai. Tangan Tommy gatal untuk mengikat helaian itu. Ola menunduk, jari kecilnya menyodorkan sepotong tulang dengan banyak sisa daging. Seekor kucing cokelat langsung menyambar lalu berlari. Senyum yang Tommy cari selama beberapa hari tersungging. Bukan untuknya, tapi untuk makhluk berbulu kelabu yang tidak beruntung mendapatkan sisa tulang. Tapi bibir Tommy tak sadar tersenyum.
Sebelum Tommy mampu kembali bergerak, Ola telah bergegas. Menandaskan segelas air putih dalam sekali minum, gadis itu langsung berdiri lalu menyambar tas. Menjauh dari Tommy yang sedang merutuki diri sendiri karena selalu beku.
Tapi paling tidak, lelaki itu tahu, kapan dan di mana mereka bisa bertemu.
***
Ola telah lapar, tapi begitu memasuki kantin Koperasi Teknik Sipil, dia mendapati bahwa kursi di sudut ruangan yang selalu menjadi singgasananya selama empat semester telah terisi.
"Anak Arsitektur makan di sini?" Ola bertanya setelah cukup dekat. Tommy, si Algojo berwajah kaku itu akhirnya mengangkat kepala. Rahangnya ketat, lesung pipit di dagu muncul. Matanya? Ola penasaran bagaimana pupil itu akan bereaksi ketika pemiliknya tersenyum atau tertawa.
Awalnya, Ola berpikir bahwa wajah kaku Tommy hanyalah sebatas menjalankan perannya sebagai Algojo. Namun, sepertinya memang lelaki itu tidak bisa menampilkan wajah santai. Ola dan teman-teman panitia di pos sering mengobrol ketika para maba melakukan aktivitas di lapangan utama, sedangkan si Algojo? Hanya duduk di tepi lingkaran dan terdiam.
"Tumis daun pepaya di sini enak."
Untuk sapaan Ola yang asal, Tommy menjawab dengan serius. Terlalu serius bahkan menurut gadis itu. Sekarang fokusnya berpindah pada piring Tommy yang seperti baru tersentuh sedikit. Tumis pepaya itu berwarna hijau pekat, mengilat berbalut minyak. Mengintip di antara potongan daun, cabai merah iris dan teri medan. Air liur mulai menggenang di sudut lidah Ola.
"Nggak pahit?" Ola bukan penyuka tumis daun pepaya karena sering mendapati masakan ini terasa getir di lidah. Tapi melihatnya tersaji di piring dengan nasi yang masih mengepulkan uap hangat, telur dadar gulung, juga sambal terasi, perut Ola langsung beraksi.
"Nggak!" Tommy menyendok tumisan itu lalu mengangkatnya cukup tinggi.
Cacing di perut Ola memegang kendali, kepalanya langsung menunduk. Melahap isi sendok yang diangkat Tommy. Rasa gurih dari ikan asin berpadu dengan pedas memanjakan lidah, getir yang samar kini menambah nikmat.
Ola benar-benar lapar sekarang.
"Ehm." Si gadis belum mampu berkomentar, sibuk mengunyah. "Enak! Aku titip tas, ya." Ola bersegera meletakkan tas di bangku samping Tommy lalu beranjak menuju lemari kaca dengan ibu kantin yang siap melayani pesanan para mahasiswa.
Dalam antrian, Ola kembali menoleh ke arah Tommy. Lelaki itu hanya terdiam, wajahnya kaku, sangat kaku. Dan matanya menatap nanar pada sendok kosong yang masih terangkat di udara. Ola mengernyitkan dahi. Mengapa Tommy menatap alat makan itu sampai tak berkedip? Tadi sendok itu baik-baik saja ketika Ola ....
Jantung gadis itu berdentum, tengkuknya tegang. Sekarang dia ingin memukul kepalanya sendiri. Merasa terlalu ceroboh dan serampangan. Kenapa dia tadi menyuap begitu saja ke arah sendok Tommy?
Antrian di depannya telah habis, ibu kantin bertanya apa pesanan Ola yang dijawab dengan buru-buru. Setelah siap, tanpa menunggu si Ibu menyerahkan piring, Ola langsung mengambil dari tangan gemuk itu. Lalu menyambar dua pasang sendok garpu yang masih terbungkus tisu.
"Sorry, aku nggak sadar tadi." Saat Ola kembali, Tommy masih duduk dengan wajah tegang. Saat lelaki itu menoleh, ada kilat berbahaya di tatapan yang berfokus pada bibir Ola. Refleks gadis itu menutupi mulutnya dengan tangan. "Maaf, tadi ...," dia menahan penjelasannya. Tommy tidak perlu tahu kalau dia sering makan bersama kucing dan kadang membiarkan hewan berbulu itu mengambil langsung dari piringnya. Dia tahu itu tidak higienis, tapi dia sering tidak tega dan sudah terlalu lapar untuk memberikan seluruh makanannya kepada kucing. Dia juga kadang berbagi sendok dengan teman seindekosnya, selama mereka tidak sakit.
Tidak! Tommy tidak perlu tahu sedetail itu.
Tatapan tajam si Algojo tidak juga lepas, bahkan mengikuti gerakan Ola yang duduk di sebelahnya. Rasanya dia ingin menutupi wajahnya lalu berlari kembali ke ruang kuliah. Tapi dia harus bertanggungjawab.
"Aku ambil sendok baru. Kalau kamu mau tukar makanan juga nggak apa-apa." Piring dan sendok yang sedari tadi Ola pegang, diangsurkan. "Maaf," gadis itu nyaris merengek. Minggu lalu ketika menyaksikan wajah galak Tommy ke mahasiswa baru rasanya tidak terlalu mengerikan. Tapi, mendapatkan ekspresi kaku itu ditujukan untuk dirinya sendiri? Bolehkah sekarang dia pura-pura pingsan seperti maba tempo hari?
"Lo tiga kali minta maaf." Suara Tommy rendah lalu menghela napas. "Gue nakutin elo?"
"Kamu nakutin semua orang." Ola masih belum berani tersenyum.
"Sorry." Wajah Tommy kaku. Dari jarak sedekat ini, baru Ola sadari, ada yang berbeda dari kakunya Tommy sebagai Algojo dan saat ini. Ketika berdiri di depan para mahasiswa baru, lesung pipit di bawah dagu tidak pernah muncul. "Nggak apa-apa, gue lanjut makan pakai ini. Kasihan ibu kantin kalau kebanyak cuci sendok."
Ola ingin percaya ucapan Tommy, tapi ketika teman duduknya itu kembali melihat sendok dan berhenti beberapa detik lalu menggigit bibir, pikiran Ola kacau. Tengkuk terasa digelitik, dan rahangnya memanas. Rasa ingin menyembunyikan diri, tapi juga tak ingin menjauh dari si lelaki.
Ola berusaha menjernihkan pikiran, menikmati makanan dalam diam. Sampai Ola menyapa seekor kucing yang berjalan di antara betis, sebuah decak dan tawa ringan terdengar dari sebelahnya. Saat itu, untuk pertama kalinya senyum tercetak di wajah kaku. Dan Ola berharap, hanya dia seorang yang mendapat senyum dan kilat mata cerah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dijual Cepat Tanpa Perantara
عاطفيةOla dan Tommy saling cinta. Namun, untuk bisa bersama Ola harus siap meninggalkan keluarganya dan Tommy harus menyembuhkan lukanya *** Tommy adalah mahasiswa sempurna di jurusan Arsitektur, sedangkan Ola terus terseok selama masa pendidikannya di Te...
Wattpad Original
Ada 2 bab gratis lagi