Wattpad Original
Ada 3 bab gratis lagi

5

17.3K 1.8K 36
                                    

Pinggiran Jakarta, kini.

Tommy yang terlebih dulu mengalihkan pandangan. Tidak tahan dengan cara mata bulat melihatnya. Dia juga tahu, apa yang akan terjadi pada dirinya jika menikmati mata hitam Ola terlalu lama.

"Belum sempat dibereskan." Tommy membuka pintu penghubung garasi dan rumah utama. Garasi terhubung langsung dengan ruang keluarga dan ruang makan yang berada di dekat dapur. Dan di sanalah tumpukan barang pribadi berada. Wanita itu mengamati dalam diam, berjalan melihat sekeliling sedangkan Tommy menjaga satu langkah di belakang.

Saat Ola fokus pada meja console, mengamati satu persatu foto yang ada di sana, lelaki itu memilih mengalihkan pandangan. Membayangkan dia harus merapikan semua bingkai itu sudah berhasil memberatkan hatinya.

"Kenapa rumah ini dijual?"

Tommy merasakan kehati-hatian dalam pertanyaan Ola. Dia bersyukur tamunya tidak menoleh, karena Tommy sendiri tidak tahu bagaimana ekspresinya.

"Ambu meninggal." Tommy mengambil satu langkah, ujung sandalnya hampir mengenai hak sepatu Ola. Dia mengurung wanita kecil itu agar tidak bisa berbalik dan melihat wajahnya. Emosinya selalu kacau jika mengingat kenyataan itu. Lirih Ola menyampaikan turut berduka yang tidak ditanggapi.

"Kapan?" Tangan kecil itu mengambil satu bingkai. Foto Tommy dan Ambu ketika wisuda sarjana. Ibu jari Ola mengusap ujung bingkai.

"Empat puluh tujuh hari lalu."

Gerakan jari Ola terhenti. Wanita itu berbalik perlahan, bahunya menyapu dada Tommy. Tenggorokan si lelaki tercekat, genggaman tangannya rapat.

"Kamu baik-baik saja?" Mata bulat menatapnya penuh simpati, dengan ujung luar mata yang menurun, bibir yang terkatup rapat, dan dagu yang lebih terangkat. Tommy mengamati lekat Ola. Debaran yang dari tadi coba dikendalikan kembali berulah.

Lelaki itu membersihkan tenggorokan, mundur satu langkah.

"Tentu saja." Tommy memaksakan senyum.

"It's okay not to be okay, Tom."

"I know." Dia tidak berani membalas tatapan Mata Bulat. "Mau melihat bagian rumah yang lain?"

Tommy bisa mendengar dengkus Ola, tapi wanita itu tidak mengatakan apa pun, mengikuti langkah Tommy untuk berkeliling. Lelaki itu menunjukkan tiap bagian rumah, sambil berusaha meredam emosinya atas kenangan yang keluar dari tiap ruang. Ola sendiri seperti menahan bicara, kecuali hal-hal terkait rumah, terus memotret.

***

"Hai, Manis." Ola duduk di bangku rotan ruang tamu, ketika Tommy datang dengan dua buah gelas dan satu botol air mineral dingin. Kucing abu-abu baru melompat ke pangkuan wanita itu.

"Namanya Oportunis."

"Oportunis?" Ola balik tanya sambil tersenyum geli. "Kamu cuma datang waktu ada maunya ya?" Jari-jari kecil menggelitik kepala kucing yang tampak menikmatinya. "Panggilannya apa? Tunis?" Ola mengajak makhluk berbulu itu bicara dengan nada yang dibuat lebih menggemaskan.

Tommy tidak tahu berapa lama dia mengamati obrolan absurd manusia dan hewan di depannya, tapi dia tersenyum sepanjang waktu. Untuk sementara rasa kehilangan terlupakan.

"Lo masih suka kucing?" Akhirnya dia buka suara.

"Selalu suka kucing. Mereka lebih menyenangkan daripada manusia."

"Sepertinya semua kucing suka ama lo."

"Nggak juga sih." Ola menuang minuman ke gelas lalu menghabiskannya dalam beberapa tegukan, sesuatu yang sudah sangat familiar bagi Tommy. "Kemarin aku dapat cakaran kucing di kosan." Perempuan itu sekilas menunjukkan lengan kirinya. Bekas parut yang masih kemerahan sepanjang lima sentimeter, terlihat kontras dengan kulit langsatnya. Tommy mengernyit.

"Sudah lo obati?" Meski Tommy tahu Ola lebih ahli dari dirinya soal pertolongan pertama, mau tak mau Tommy khawatir.

"Sudah. Paling lama seminggu bekasnya akan hilang. No worries." Mata bulat itu menatapnya sebentar sebelum menghela napas. "Soal rumah ini, apa kamu nggak merasa terlalu terburu-buru?"

"Gue harus balik ke London tiga bulan lagi." Tommy meneguk minumannya sendiri. "Teteh gue sekarang lagi hamil muda dan tinggal di Bandung. Adik gue lagi sibuk kuliah di Jogja. Jadi cuma gue yang bisa ngurus dan gue rasa makin cepat makin baik rumah ini terjual."

Ola memandang sekitar, lalu berhenti agak lama pada deretan foto di salah satu dinding. Ekspresi penuh simpati yang tadi sempat muncul hadir lagi. Dan Tommy tidak akan siap untuk menghadapinya. Saat mata bulatt menghadapnya, Tommy mengetatkan rahang. Tidak ingin dikasihani.

Dalam satu tarikan napas, wajah Ola berubah. Dia meraih saku roknya, mengeluarkan dompet kartu kecil. Mengambil satu lembar lalu menyodorkannya pada Tommy.

Saat melihat kartu nama di tangannya, si lelaki mendengkus kesal. Di bawah nama yang dulu membuatnya penasaran, tertulis jabatannya: Marketing Executive, dengan logo sebuah agen properti terbesar di Indonesia tercetak di sebelah kanan bawah.

"Aku tahu, kamu ingin menjual rumah ini langsung kepada pembeli. Tertulis jelas di papan di depan." Ola memandang keluar, pada papan yang tertulis dengan jelas, "Dijual Cepat Tanpa Perantara."

"Lalu?" Tommy meletakkan kartu nama di meja, melipat tangan di dada lalu menyandarkan punggung pada kursi. Ola terlihat tidak nyaman dengan perubahan tiba-tiba lelaki itu.

"Sekarang kamu mengingatkanku waktu kita pertama ketemu. Algojo galak." Ola menghindari tatapan Tommy, memilih mengelus Oportunis yang mulai menggeliat.

"Lo mau mengalihkan pembicaraan?" Sudah lama dia tidak mengeluarkan sisi algojonya, dan terasa menyenangkan menggoda perempuan yang salah tingkah di depannya. Tapi, bukan berarti kekesalannya karena mengetahui profesi Ola menghilang begitu saja.

"Sepertinya lebih mudah kalau aku pura-pura pingsan sekarang," gerutu Ola sebelum menarik napas dan langsung berubah menjadi sosok yang lebih profesional dengan punggung tegak. Sedikit kontras dengan Oportunis di pangkuan.

"Aku memiliki calon pembeli untuk rumah ini. Aku sudah mengirim beberapa foto yang kuambil tadi, sepertinya dia antusias. Aku bisa mewakili untuk...."

"Nggak," potong Tommy cepat lalu berdiri, ada alasan kuat dia menulis "Tanpa Perantara" di papan itu.

"Kamu nggak harus menolak dengan terburu-buru." Ola juga ikut berdiri. "Kamu di sini hanya sampai tiga bulan ke depan, kan? Aku juga punya beberapa minggu. Kalau kamu setuju, ada banyak keuntungan...."

"Gue arsitek, La. Siapa tahu lo lupa. Jadi gue tahu betul apa saja kelebihan menjual properti lewat agen." Tommy tidak sadar berjalan menuju pintu.

"Tapi seperti sekarang kamu butuh diberitahu lagi."

Tommy sudah bersiap membuka mulut untuk menyatakan alasannya, tapi kali ini, dia kalah cepat.

"Lusa aku akan kemari lagi sambil bawa penawaran dari pembeli." Wanita itu tersenyum dan melangkah keluar. "Bye-bye, Tunis."

Suara menggemaskan itu membuat Tommy bisu dan rindu. Kesal yang tadi muncul dengan cepat, kini juga terhapus dalam sekejap. Dia masih ingin mendengar celoteh aneh Ola bersama kucingnya. Dan dia tahu, itu tidak akan terjadi jika broker di depannya tahu alasan yang sebenarnya.

Mungkin, dia harus mengulang strategi bodohnya sepuluh tahun lalu demi bertemu Gadis Kucing.

Dijual Cepat Tanpa PerantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang