Seekor kucing berbulu kelabu mengikuti langkah lambat Tommy yang masih terengah, separuh kaosnya basah. Menyeka keringat di dahi dengan lengan kanan, lelaki itu mulai duduk di tepian halaman hijau rumahnya. Setelah jogging selama empat puluh lima menit pikirannya sedikit lebih segar. Lelah, tapi segar. Tinggal di dalam rumah sendirian membuatnya sedikit frustasi. Kenyataan bahwa tidak ada lagi Ambu, membuat Tommy butuh pengalih perhatian.
Tommy mengamati kucing berbulu badan pendek tetapi memiliki bulu ekor panjang, sepertinya hasil persilangan kucing kampung dan kucing anggora. Mereka saling pandang sejenak. Saat Tommy mengulurkan tangan untuk membelai kepala si kucing, makhluk berkaki empat itu memutuskan untuk pergi. Lelaki itu tertawa sendiri. Makhluk liar itu satu-satu temannya setelah Linda dan Anin kembali ke kehidupan normal mereka. Ia paling setia menunggui Tommy ketika sedang makan. Tetapi, begitu tahu dia tidak membawa makanan, si oportunis itu langsung meninggalkannya.
Tommy tumbuh dewasa dengan mengabaikan keberadaan kucing. Tapi, sejak sepuluh tahun lalu, kucing adalah hewan yang lelaki itu harapkan bisa dekat dengannya. Sayangnya, jarang berhasil, kecuali Tommy memiliki sesuatu untuk ditawarkan.
Ponsel yang dia simpan di kantong yang melekat lengan kiri bergetar, melalui perangkat jemala yang menempel di telinga dia menjawab panggilan. Sebuah sapaan terdengar dari seberang tepat ketika angin sore bertiup menyejukkan badan, menggerakkan daun-daun dari pepohonan yang ada di halaman.
"Pak Tommy?" Suara itu lembut, dengan guman tipis ketika menyebutkan 'm' di namanya. Benar-benar berujar Tom-my dengan jeda. Bukan sekedar To-mi seperti kebanyakan orang. Ada getar aneh di dada, merasa mengenali cara bicara. Membentuk sebuah ingatan yang masih berkabut. "Halo?" Peneleponnya meminta jawaban.
"Iya?" Tommy menjawab tanpa tergagap.
"Saya tadi melihat papan di depan rumah di jalan Kenari. Tapi sepertinya tidak ada orang." Mata Tommy melirik papan yang dipasang kemarin sore. Sebuah papan pengumuman penjualan rumah, dengan nomor ponsel yang baru dia beli dua hari lalu terpampang di sana. "Kalau saya mau melihat rumahnya, kira-kira kapan ya, Pak?"
"Kapan saja bisa, asal ada pemberitahuan sebelumnya." Tommy menjawab diplomatis. Dia tidak ada kegiatan lain selain menyelesaikan pekerjaannya dari rumah. Sejak kepindahannya ke Inggris dia sudah kehilangan kontak dengan teman-temannya. Waktu kembali ke Indonesia dua bulan lalu karena Ambu sakit, dia juga tidak mengabari siapa pun, karena harus fokus dengan kesehatan ibunya.
"Besok sore, sekitar jam empat Bapak ada waktu?"
Tommy mengernyit, tidak suka dengan sebutan 'Bapak' yang baru saja digunakan oleh penelepon. Dia ingin namanya disebut lagi oleh suara lembut itu. Lelaki itu meremas rambut atas pikiran yang baru saja melintas. Sepertinya dia harus jogging satu putaran lagi.
"Iya, saya ada di rumah."
"Oke, terima kasih, sampai jumpa besok."
Tommy bisa membayangkan senyum yang menyertai kalimat yang terasa begitu familiar. "Sampai jumpa," balasnya, sebelum tersadar ada detail penting yang belum dia dapatkan, "Maaf, saya bicara dengan...." Tanya itu tidak terselesaikan, di telinganya telah terdengar nada membosankan yang menandai putusnya sambungan.
***
Kantong plastik terakhir bergabung dengan sesamanya di bak sampah. Pukul setengah empat sore, Tommy berhasil membersihkan sebagian besar rumah. Daun-daun kering yang rontok telah aman di drum pengompos yang ada di sudut halaman. Kembali memasuki rumah, barang-barang pribadi masih tertata seperti saat dia baru datang.
Namun, lelaki itu masih enggan merapikan. Masih belum menyimpan bingkai foto yang berjajar di tembok dan meja console. Masih merasa nyaman dengan selimut rajut yang Ambu gunakan untuk menutup sofa tua di depan televisi. Souvenir oleh-oleh dari beragam daerah dan mancanegara, hasil penjelajahan Linda, Anin, dan juga dirinya, memenuhi satu lemari di sudut ruang keluarga. Buku-buku koleksi bacaan Ambu dan tiga anak ketika mereka tumbuh, masih memenuhi rak.
Calon pembeli sebaiknya bisa membayangkan bagaimana cara hidup di sebuah rumah ketika melihatnya pertama kali, saran seorang senior sesama arsitek. Dulu ketika Tommy menata rumah contoh dari firma tempatnya magang.
Tapi di lubuk hati, Tommy tahu, bukan alasan itu yang membuatnya masih mempertahankan isi rumah. Dia belum rela dengan kenyataan bahwa kehidupan mereka di rumah itu akan segera berakhir.
***
Tommy baru keluar dari kamar Anin, mencari karet rambut untuk mengikat rambutnya yang telah panjang. Tepat ketika dia melihat melalui jendela sebuah LCGC berhenti di depan gerbang masuk rumahnya. Dia menarik napas, menenangkan diri. Ini bukan kali pertama menemani seseorang melihat properti.
Namun, kali ini jamais vu, dia seperti belum pernah melakukannya sama sekali. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat, seperti ketika dia terlalu banyak minum kopi dan lupa minum air putih. Dia perlu menenangkan diri sebelum penelepon yang sampai sekarang belum memberitahu nama itu sampai di hadapannya.
Si Oportunis melewati kaki begitu Tommy membuka pintu. Dari kaca samping mobil yang nyaris transparan dia bisa melihat siluet pengemudi mobil merah kecil itu. Rambut yang awalnya tergelung jatuh, tangan kecil menggerainya lebih lanjut. Wanita itu bercermin melalui kaca tengah.
Saat tamunya turun, baru Tommy bisa lihat bahwa rambut itu hitam kelam. Tergerai bergelombang membingkai wajah kecil yang tertutupi kacamata lebar. Melangkah dengan sepatu hak tinggi ke halaman, pinggul wanita itu berayun, jantung Tommy berdesir. Si lelaki bisa merasakan tatapan di balik kacamata gelap. Ketika wanita itu tersenyum Tommy hanya mampu berdiri terpaku. Dan Si Oportunis? Kucing itu sudah menanti, menatap dengan satu kaki depan terangkat ketika tamu tanpa nama itu mendekat. Senyuman di bibir kemerahan itu makin lebar ketika mengambil makhluk kelabu dan mendekapnya di dada. Kacamata perlahan dibuka, mata itu mengerling dengan jenaka, dan senyum makin lebar ketika mereka saling tatap.
"Tommy?" Suara lembut itu ceria, dengan guman 'm' yang masih saja membuat renjana pemilik nama menyala.
Langkah sepatu berhak itu makin cepat, Tommy masih terpaku di tempat. Sapuan angin kembali menyapa. Aliran udara bukan hanya menerbangkan rambut panjang wanita di hadapannya. Namun, juga membuka kabut ingatan yang mulai muncul kemarin sore.
"Kamu ingat aku?"
Si Oportunis menggeliat di dekapan, kabut sepenuhnya telah pergi. Ingatan itu telah nyata. Tentang sebuah topi yang terlepas dan surai hitam yang terurai perlahan, tentang kucing abu-abu yang membuatnya iri, tentang obrolan ringan di kantin fakultas sebelah, juga tentang patah hatinya yang pertama.
Bloody hell!
perangkat jemala: headset
LCGC: low cost green car, mobil murah ramah lingkungan
KAMU SEDANG MEMBACA
Dijual Cepat Tanpa Perantara
Storie d'amoreOla dan Tommy saling cinta. Namun, untuk bisa bersama Ola harus siap meninggalkan keluarganya dan Tommy harus menyembuhkan lukanya *** Tommy adalah mahasiswa sempurna di jurusan Arsitektur, sedangkan Ola terus terseok selama masa pendidikannya di Te...
Wattpad Original
Ada 6 bab gratis lagi