Wattpad Original
Ada 4 bab gratis lagi

4

21.6K 1.9K 40
                                    

Bandung, sepuluh tahun lalu

Rasanya Ola ingin memukul kepala sendiri karena mulutnya tidak bisa dikendalikan. Dia baru saja menyebut Algojo di hadapannya dengan 'ganteng'. Perlahan dia mengangkat pandangan, lelaki tinggi itu menatapnya tajam. Wajahnya tegang, rahangnya ketat, sampai-sampai lesung pipit di dagunya tampak.

Rakha Tommy Nataprawira, Ola tahu bahwa nama itu sebaiknya dihindari. Lelaki itu Algojo dari Tata Disiplin yang bertugas menghukum para pelanggar dalam kegiatan orientasi. Dan pelanggar bukan hanya mahasiswa baru, panitia yang tidak taat tata tertib juga harus berhadapan dengan Algojo. Dan saat ini, Ola sedang dalam kondisi melanggar. Dia berharap Tommy tidak menemukannya.

"Jadi gue disamain ama kucing?" Pertanyaan itu membuat Ola linglung untuk sementara. Sampai dia ingat apa yang dia katakan sebelumnya.

Kucing di tangan Ola menggeliat, wajah berbulu lucu itu makin menggemaskan. Ola kembali meneliti wajah imut. Mata birunya bening dengan garis tegas hitam di sekeliling. Hidungnya pesek dengan mulut kecil. Kumis dan alis putih mencuat dengan lentik. Di antara bulu abu-abu, ada garis putih dari bagian alis hingga tengah kepala.

"Lebih ganteng ini." Ola menemukan cara melarikan diri dari kalimat yang tadi dia sesali. Diarahkannya wajah kuyu kucing ke penyelamatnya. Lesung pipit di dagu Tommy makin jelas.

Lelaki itu berdecak lalu berjalan mendekat. Dari saku depan jas almamaternya keluar topi putih yang sedari tadi Ola cari. Gadis itu menghela napas lega, atributnya tidak jadi hilang. Dia aman dari hukuman. Ola ingin mengambil topi itu, tapi kucing di pelukannya menggeliat. Kedua tangannya dibutuhkan untuk mencegah hewan kecil itu melompat. Saat pandangannya terangkat, topi sudah melekat.

"Sebaiknya ikat rambutmu. Ada aturan soal tatanan rambut." Tangan Tommy masih memegang ujung pet. "Gue nggak perlu ngasih hukuman ke lo hanya gara-gara rambut, kan?"

Jantung Ola berdentum, yang dia yakin bukan karena dia takut dihukum. Karena debaran di dadanya terasa menyenangkan. Lebih menyenangkan daripada menemukan kucing paling tampan.

***

Pinggiran Jakarta, kini.

"Kamu ingat aku?" Ola merasa bodoh menanyakan itu, tapi pria di depannya seperti belum berhasil mengenali. Kemarin ketika menelepon, dia tidak pernah berpikir bahwa Tommy pemilik rumah ini adalah Tommy temannya ketika kuliah. Teman yang Ola harapkan....

Ola menggelengkan kepala sebelum terlalu banyak ingatan yang muncul. Dari sekian banyak hal tentang Tommy, dia akan mencegah satu hal yang berusaha dia lupakan mendominasi. Namun, lelaki itu masih sama seperti dulu. Masih menampilkan lesung pipit di dagu ketika rahangnya tegang, seperti saat ini. Meski sekarang, rambutnya panjang terikat sembarangan di belakang. Wajahnya lebih tegas dari terakhir Ola ingat.

Ganteng? Ola memandang kucing di dekapannya, lalu kembali ke Tommy. Keduanya bersaing secara ketat.

"Ola, Rafiola Ghaniya. Dulu kita sering...."

"Lo tambah tinggi sekarang," potong Tommy yang menatapnya lekat di mata. Untuk sesaat Ola linglung, kucing di tangannya mengeluarkan suara dengkur. Otaknya berusaha memproses maksud Tommy, sampai akhirnya dia tertawa sendiri.

"Sepuluh senti dalam sekejap." Ola masih menahan senyumnya sambil menunduk, memandang sepatu hak tingginya. Tommy juga melakukan hal yang sama. Saat keduanya kembali bertatap, Ola masih harus tengadah. Dirinya yang seratus enam puluh senti termasuk tinggi untuk rata-rata perempuan Indonesia, ditambah sepatunya, dia mencapai seratus tujuh puluh. Tapi, Tommy menjulang lebih tinggi.

Angin bertiup, mendesau dedauan, kucing menggeliat, seperti pertemuan mereka yang pertama.

"Kupikir kamu kerja di Inggris," Ola mencoba mengisi kekikukkan yang sempat terjadi. Lesung pipit di dagu kembali, menutupi murung yang sempat muncul.

"Cuti bentar." Lelaki di hadapannya tidak bergerak, berdiri di tengah pintu.

Kucing di dalam dekapan menggeliat, mengalihkan perhatiannya sejenak dari tatapan tajam Tommy yang membuatnya jengah. Ola menyapu pandangannya ke halaman rumah yang dipenuhi rumput. Carport tertutupi oleh paving block grass block sehingga titik-titik hijau masih bisa mengintip dari lubang-lubangnya. Di sisi kanan pohon mangga terlihat rimbun, pucuk-pucuk calon bunga mulai muncul. Tak terlalu jauh sebuah ayunan kursi terletak di bawah bayangannya, berdekatan dengan jendela besar.

Kemarin, ketika melihat rumah ini pertama kali, Ola tahu bangunan yang mungkin dibuat pada tahun 80an ini adalah rumah yang Nana inginkan. Secara lokasi, masih satu kawasan dengan sekolah anak-anak Nana. Memiliki halaman yang cukup luas di depan. Jika tidak ada kejutan di belakang, Ola juga yakin, secara harga masih dalam jangkauan yang telah ditetapkan kakak kelasnya.

"Daerah ini termasuk bebas banjir, kan?" tanya Ola memecah sunyi di antar mereka.

Lesung pipit Tommy memudar, menghela napas, lalu menjawab, "Iya bebas banjir. Lingkungannya juga relatif aman. Kebanyakan penghuni lama yang sudah tinggal di sini dua puluh- tiga puluh tahun."

"Ramah untuk anak-anak juga sepertinya." Pandangan Ola menerawang jauh, tadi dia melewati taman kecil yang cukup sejuk.

"Iya." Lelaki itu hanya menjawab singkat dan menatap kucing di dekapan Ola lekat. "Mau berkeliling?"

***

"Itu yang dari tadi aku tunggu!" Wanita di hadapan Tommy sama sekali tidak menyembunyikan antusiasmenya. "Kamu turun dulu ya, ganteng." Wanita itu sedikit menunduk lalu melepaskan Oportunis dari pelukannya. Kali ini Tommy tersenyum, Ola masih sama seperti gadis yang sepuluh tahun lalu Tommy temui.

"Dari luar dulu?" Tangan Tommy menyilakan, Ola mengangguk dengan bersemangat, rambut yang sempat menutupi wajah langsung diselipkan di belakang telinga. "Lo nggak tanya harga dulu?" Mereka beriringan menuju garasi. Wanita itu menjawab dengan menyebutkan harga permeter persegi tanah dengan tepat.

"Untuk harga rumah, aku perlu melihat lebih dulu untuk tahu nilainya."

Kali ini Tommy berdecak, "Teknik Sipil!"

Ola terkikih.

"Aku hanya tidak ingin menyia-siakan ilmu." Wanita itu mengeluarkan ponsel dari saku, mulai memotret beberapa bagian luar rumah.

"Kerja apa sekarang?" Tommy sedikit ragu untuk mengajukan pertanyaan itu. Setelah keterkejutannya reda karena wanita kecil itu tiba-tiba muncul di depan pintunya, kini dia penasaran.

"Rumah ini pernah renovasi?" Ola tengadah, menatap langit-langit garasi, sangat fokus sampai sepertinya tidak mendengar pertanyaan Tommy.

"Pernah lima tahun lalu. Ganti plafon dan sebagian besar rangka atap. Mau melihat ke dalam?" Tommy sudah meraih kenop pintu yang menghubungkan garasi dengan bagian dalam rumah, menunggu Ola yang masih sibuk dengan kamera ponselnya. "Lo mau nikah?" Tommy benar-benar penasaran sekarang. Untuk apa wanita seumur Ola melihat-lihat rumah yang akan dijual?

"Akhir-akhir ini aku dapat pertanyaan itu dari teman-temanku. Apa yang bikin kalian berpikir kayak gitu?" Ola kembali menyelipkan helaian rambutnya di belakang telinga, kilau berlian kembali menarik perhatian Tommy. Tadi dia sempat teralihkan pada cincin di jari manis kiri Ola ketika wanita itu menggendong Oportunis. Sepertinya Ola menyadari arah pandang Tommy. Ketika telah tepat berhadapan, tangan kecil itu terangkat, memamerkan cincin dengan permata putih yang bertahta. Mata hitam berbingkai bulu mata lentik itu menatapnya percaya diri. Tidak ada lagi Mata Bulat yang lugu, perempuan di hadapannya telah matang seiring perpisahan mereka.

"Apakah wanita harus menanti pemberian pria untuk memakai berlian?" 

Dijual Cepat Tanpa PerantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang