Chapter 4 • Jasmine Maxwell

776 77 38
                                    

Selamat datang di chapter 4 Jasmine Maxwell’s POV

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tadai jika ada typo bergentayangan

Thanks

Happy reading everyone

Hope you like it

❤️❤️❤️

______________________________________________

Mendadak waktu terasa berhenti ketika ia mengubah senyum itu menjadi tawa lebar

Jasmine Maxwell
______________________________________________

—Jasmine Maxwell______________________________________________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Musim semi
Michigan, 24 April
15.47 p.m.

Rasanya seperti ada segebok kunci kalimat kurang ajar yang membuka pikiran serta hatiku. Ini merupakan kali pertama aku mendengarnya dari seseorang dan orang tersebut adalah laki-laki culun itu. Orang yang sama sekali tidak pernah kuprediksi akan kehadirannya di rumahku. Orang yang membuatku berdebar keras karena wajah tanpa kacamatanya. Sekaligus menjadi ketakutanku karena ia merupakan pemegang kartu As-ku.

Maksudku, untuk masalah yang di koridor kemarin. Aku sangat khawatir ia akan melaporkannya pada ayah. Oleh karenanya, aku harus mengusirnya. Berusaha sebisa mungkin menjauhkannya dariku dan keluargaku. Mungkin aku juga harus mengawasi gerak-geriknya di mana pun agar tidak membocorkan masalah tersebut.

Selama beberapa detik aku cukup terkejut sehingga tidak dapat bereaksi apa pun. Lima detik berikutnya, aku menemukan kekuatanku kembali untuk membalas perkataannya.

“Beraninya kau menceramahiku di rumahku sendiri!” Masih sambil bersedekap tangan dan dengan nada setinggi tadi. Kemudian melihatnya bangkit dari duduk lalu menunduk sekilas sebelum menatapku.

“Em ... maaf kalau kata-kataku menyinggungmu. Aku tidak bermaksud menghakimimu atau semacamnya.”

“Kau baru saja melakukannya!” Lagi-lagi intonasi nadaku masih belum turun.

Sekarang masih musim semi tapi entah kenapa suasana siang menjelang sore ini terasa lebih mirip cuaca musim panas. Angin yang bertiup melalui celah-celah jendela yang tinggi seperti membawa hawa panas. Menimbulkan keringat tipis yang kehadirannya menyapa kulit pelipisku. Beberapa anak rambut yang berkibaran kusematkan ke belekang telinga. Aku juga berpikir kenapa di saat cuaca seperti ia masih masih mengenakan blazer marun sekolah kami.

“Tidak, itu maksudku bukan seperti itu,” ucapnya masih dengan nada setenang tadi kemudian tersenyum kecut. Mendengar jawaban itu, aku semakin memeperdalam kerutan dahiku ketika ia menambahkan, “Aku juga tidak akan marah karena kau menghinaku.”

The Billionaire's SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang