Rangkaian Mimpi

36 2 0
                                    

Li berulang kali melirik ke arah pintu perpustakaan. Berulang kali juga ia menghela napas kesal. Ini sudah pukul delapan pagi, tetapi teman-temannya belum datang. Ah, ya, kecuali An tentu saja. Dan itulah yang membuat Li gelisah. Dia takut Sa yang datang selanjutnya.

Sekolah memang masih memberi kebebasan untuk jam masuk siswa hingga nanti pembagian rapot.

"Kok mereka lama, ya?" gumam Li.

An tertawa pelan, "kamu udah ngomong gitu sepuluh kali sejak satu jam yang lalu, Li. Kenapa emangnya?"

"Ya, kan kita cuma berdua, ga enak aja," jawab Li jujur, membuat luka terlihat di iris hitam bening An.

"Tapi kalau sama Di kayaknya kamu ngga pernah masalah, Li?" tanya An datar.

Li terkekeh, tidak menyadari raut mengeras An, "kalau sama Di emang udah biasa, semua juga tau kami deket, kalau kamu, aku ga enak sama Sa, dia suka kamu, kan?"

Li menoleh hanya untuk mendapati wajah kecewa An, "kenapa?" tanya Li mengernyit heran.

"Tapi aku sukanya sama kamu, Li," gumam An pelan.

Li terpaku. Ia menatap menyelidik dan menyadari tatapan memuja An yang membuatnya hanyut.

Mereka masih saling menatap, berharap bisa saling mengerti ketika sebuah suara terdengar.

"Ih, apaan, sih, Di," seru Ki kesal kemudian terdengar tawa Di.

Li memutus tatapannya segera berdiri menarik tas Ki dan Di.

"Kalian lama! Mampir ke mana dulu? Sarapan bareng, ya?" tanya Li berusaha mengusir gugup.

"Haha, kenapa emangnya? Cemburu?" ledek Ki berusaha melepaskan tasnya dari cengkraman Li.

"Eh, An, pindah duduk di sini aja," kata Ki berjalan ke pojok lain ruangan.

"Ih, di sana aja kenapa, sih?" protes Di.

"Di sana kena matahari, An sampe merah tuh mukanya," kata Ki polos.

Di menyelidik, kemudian mengembuskan napas pelan. Dia melepas tasnya, yang otomatis membuat beban itu jatuh ke tangan Li tanpa aba-aba.

"Di, kamu sengaja, ya! Ini berat tau!" protes Li sambil menahan jeritan karena ini di perpustakaan.

"Haha, maaf-maaf, ga sengaja," kata Di nyengir.

"Eh, maaf ya telat!" tiba-tiba Sa datang dengan sedikit terengah-engah.

"Eits, santai saja, Sa, lagi pula kita kan emang ga ngatur jam," kata Li lalu menggandeng Sa ke pojok yang ditunjuk Ki.

Mereka duduk mengitari meja. Li bersebelahan dengan Sa dan berhadapan dengan Di. Sebisa mungkin menghindari dekat dengan An. Dia masih terkejut dan tak tahu harus bersikap seperti apa.

"Ngomong-ngomong, kita ngapain, si?" tanya Ki menyadari sinyal-sinyal aneh antara Li dan An.

"Gapapa, sih, sebelum liburan ngumpul aja, aku pengen liat kalian," jawab Sa pelan.

"Aw, so sweet," ucap Li sedikit hiperbolis.

"Semoga besok hasilnya memuaskan, ya!" kata An penuh harap, berusaha mengusir degub aneh setiap melihat Di yang menatap Li terang-terangan.

"Semoga kamu nilainya di atas mereka, ya, Li," kata Ki penuh harap.

"Aamiin, semoga aja," jawab Li.

"Dan semoga nilaiku bisa di atasmu," kata Di meledek.

"Aamiin, asal kamu bisa di atas Fa, silakan aja," jawab Li santai.

Mereka tertawa. Rasanya hampir tidak mungkin melawan semua nilai Fa yang hampir sempurna karena ia berani membawa kertas hampir di setiap pelajaran.

"Kelas dua belas nanti kayaknya jarang ngumpul, ya?" tanya An, sejak tadi memancing Li memberikan tanggapan atas kalimatnya.

Li bahkan belum melihat ke arahnya sejak tadi, itu membuat An sedikit sesak.

"Iya, kayaknya aku bakal lebih serius deh, ibuku nuntut kedinasan terus," kata Ki pelan.

"Gapapa, Ki, aku percaya kamu bisa, kok, kamu udah cukup banyak persiapan sampai sekarang," ucap Li sambil menggenggam tangan Ki memberi dukungan.

"Iya, kamu pasti bisa, Ki," kata Sa ikut menyemangati.

"Nah, nanti kamu bisa belajar sama aku, Ki," saran Di dengan nada menyombongkan.

"Emang kamu bisa?" ledek Li, membuat An menghela napas, Li sempurna mengacuhkannya.

"Kalau kalian mau lanjut ke mana?" tanya Di menatap temannya satu per satu.

"Aku pengen di Malang, si, deket kampung, terus berharap bisa lanjut ke luar," kata An.

Biasanya Li yang selalu menanggapi positif setiap mimpi mereka.

"Waw, keren, An, pasti bisa! Semangat!" kata Ki kagum.

"Luarnya mau mana, An? Trus mau ambil apa?" tanya Sa.

"Jerman, negara di mana Pak Habibie menuntut ilmu. Aku pengen ke yang pertanian gitu, sih," jelas An.

"Keren," gumam Sa penuh kagum.

"Kalau kamu, Sa?" tanya An.

"Eh, aku pengen di UGM," kata Sa kaget ditanya An.

"Ambil apa, Sa?" tanya Di.

"Gizi atau teknik pangan," jawab Sa mantap.

"Waw, keren! Pasti kamu bisa, kamu kan suka banget bidang biologi," kata Li menyemangati.

Nah, kan! An menghela napas mendengar Li menanggapi ucapan Sa dengan santai.

"Makasih, Li, kalau kamu?" tanya Sa.

"Aku pengen di Semarang, aku pengen jadi guru," jawab Li pelan.

"Ahahaha, bagus itu, Li, kalau gurunya pinter semoga anak-anaknya juga demikian," kata Ki.

"Waw, calon ibu guru, nih, jangan galak-galak, ya!" ingat An.

"Iya, mulai sekarang kurang-kurangin mukul, Li, takut kelepasan," kata Di tertawa.

"Ih, enak aja! Aku ga pernah kelepasan tau!" elak Li.

Mereka tertawa melihat wajah protes Li.

"Eh, kantin, yuk! Aku laper," ajak Ki.

"Yuk! Aku juga belum sarapan," kata Di.

"Eh, kok belum sarapan? Emang tadi ga ada makanan di rumah? Kamu tuh lho kebiasaan, makan pagi, Di, berkali-kali aku bilang, makan pagi, kamu boleh ga makan siang atau malem, tapi makan pagi itu wajib!" seru Li kesal, khawatirnya nyata.

Di hanya tertawa sambil mengetuk dahi Li pelan, "iya, maaf, tadi lupa. Yuk, ah!"

Di berjalan lebih dulu diikuti Ki dan Sa, sedangkan Li masih menggerutu di belakang.

Hingga sebuah suara berbisik membuatnya mematung.

"Maaf, Li, kalau tadi mengejutkan. Maaf juga aku ga bisa tahan. Aku ga bakal berpura-pura jadi baik dengan nyuruh kamu ngelupain pernyataanku tadi, aku cuma mau jawaban, Li, meski entah kapan, aku tunggu," bisik An sambil tetap berusaha mensejajari langkahnya dengan Li.

"Aku ngga denger apa-apa tadi, An," bohong Li dengan suara bergetar, berusaha juga berjalan lebih cepat.

"Please, Li," ucap An, memegang tangan Li untuk menahannya berlari.

Li berusaha melepaskan tangannya, tapi cengkraman An sangat kuat, "sakit, An."

Melihat wajah meringis Li, An langsung melepas cekalannya.

"Aku nggak tau dan ga usah nunggu!" jawab Li singkat kemudian berlari.

SQUAD OF CAT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang