3

1.1K 196 20
                                    

Taeyong tidak berkata sepatah katapun. Ia memasukkan kembali perlengkapan pertolongan pertama ke ranselnya dengan gerakan cepat dan marah. Ia tidak memandang Jisoo.

"Kurasa kau tahu cara menggunakan pistol itu," kata Jisoo perlahan. "Jika kita ditemukan, atau kelihatannya Lopez akan menangkap kita, aku ingin kau menembakku. Aku lebih memilih mati daripada kembali menghadapi apa yang kualami sebelum kau menyelamatkanku."

Jisoo mengatakannya dalam nada tenang dan perlahan sehingga dampaknya lebih besar.

Taeyong mendongak, memperhatikan wajah Jisoo yang pucat lesu dalam cahaya lembut dari lampu. "Dia tidak akan menangkapmu. Aku janji."

Jisoo menarik napas perlahan. "Terima kasih," ia menyusurkan kuku di celana kamuflasenya, "Dan terima kasih sudah datang menyelamatkanku. Lopez bilang dia tidak berencana meminta tebusan. Dia akan membiarkan anak buahnya membunuhku karena dia pikir hal itu akan membuatmu menderita."

"Apa yang kau katakan padanya?"

"Bahwa kau musuh terbesarku dan kau tidak akan peduli jika dia membunuhku," jawab Jisoo santai. "Tapi dia bilang kau peduli pada ayah, dan dia korban berikutnya. Kuharap kau memiliki seseorang yang mengawasi ayah," tambahnya bersungguh-sungguh. "Jika sesuatu terjadi padanya-"

"Kau benar-benar menyayanginya ya?" tanya Taeyong dengan nada aneh.

"Dia satu-satunya orang dalam hidupku yang pernah menyayangiku," bisik Jisoo canggung.

Suara kasar terlontar dari bibir Taeyong. Dia berdiri dan membenahi barang-barang, mengeluarkan sesuatu seperti ponsel yang sudah dimodifikasi dan berbicara melalui benda itu. Tak lama kemudian, dia memasukkannya kembali ke dalam ransel.

"Mereka dalam perjalanan. Aku tahu kau pasti kedinginan. Maaf. Aku merencakakan penjemputan udara cepat jadi aku tidak mempersiapkan barang-barang untuk perjalanan panjang."

"Tidak apa-apa," jawab Jisoo, "Dingin lebih baik daripada disiksa."

Taeyong mengumpat perlahan sambil memanggul ranselnya. "Kita harus mencapai tempat terbuka kecil di seberang sungai. Tidak dalam, tapi aku bisa menggendongmu..."

"Aku bisa saja," kata Jisoo tenang, lalu berdiri. Masih sakit untuk bergerak, karena ia diikat begitu lama, tapi ia tidak menyerah. "Kau sudah berbuat cukup banyak."

"Aku tidak melakukan apa-apa," Taeyong membentak. Dia berbalik dan berjalan di depan ke tepian sungai kecil, mengulurkan tangan.

Jisoo tidak menyambutnya. Ia tahu Taeyong menganggapnya menjijikkan. Taeyong bahkan mengatakan itu kepada ibunya. Ibunya senang mengejek Jisoo dengan kata-kata itu. Jisoo tidak mengerti mengapa ibu begitu membencinya. Mungkin ia tidak cantik.

"Jalan di tempat aku berjalan," ucap Taeyong sambil menurunkan tangan. "Batunya licin, berjalan lah disekelilingnya, jangan di atasnya."

"Oke."

Taeyong melirik ke belakang saat mereka mulai berjalan di sungai dangkal. "Kau sangat tenang untuk seseorang yang baru saja mengalami semua hal yang terjadi dalam dua hari terakhir ini."

Jisoo hanya tersenyum, "Kau tidak tahu seperti apa hidupku."

Taeyong berpaling, seolah-olah tidak sanggup melihatnya lagi. Dia memilih jalan melintas ke sisi seberang dan Jisoo mengikutinya dengan patuh. Kakinya dingin dan basah, tubuhnya menggigil. Sebentar lagi ia akan berada di rumah bersama Donghae, pikirnya. Ia akan aman. Hanya saja, Lopez masih diluar sana. Dan itu membuatnya menggigil lagi.

"Dingin?" tanya Taeyong ketika mereka sudah menyeberang.

"Aku akan baik-baik saja," Jisoo meyakinkan Taeyong. Pria itu memangkas semak belukar dengan pisau besar di tangannya. Mereka mencapai tempat yang gelap dengan suara bising di atas langit, dan sebuah pintu terbuka.

The Last Mercenary [Taeyong x Jisoo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang