SEBASTIAN RILEY
Andreas mengerlingkan mata dan menerima kunci mobil dari tanganku. Tanpa pikir panjang dia menyalakan mesin ketika kami berada di dalam, lalu mulai menjalankannya.
Jalanan telah tampak sibuk. Hari masih terlalu pagi di kota St. Paul yang selalu dingin, aku juga melihat matahari yang kelihatannya bersinar begitu malas. Semalas sosok Andreas yang mengaku tengah kram otot kaki dan kantung matanya yang terlihat jelas menggantung dan menghitam. Bagaimana tidak, dia telat datang latihan dan pelatih kami—Mr. Foster membantainya dengan latihan yang lama berkat kecerobohannya sendiri. Kami selalu benci Senin pagi, tapi Andreas yang paling membencinya sekarang.
Pagi ini aku malah tampak segar dan sumringah karna semalam tidur cukup waktu. Jendela mobilku terbuka agar asap rokok milik Andreas menguar di udara luar. Udara dingin berembus dan menggantikannya untuk menyegarkan rongga dadaku.
"Kulihat mentari bersinar muram pagi ini," mulai Andreas dengan puisi paginya. Nyanyian buruknya ini harus kudengar setiap hari.
"Yeah." Aku berkomentar dalam hati kenapa dia harus sepuitis ini setiap emosinya terpuruk.
"Keindahan terpancar tapi tenggelam oleh harapan semalam 'tuk digenggam di masa depan."
Apa-apaan. Aku memejamkan mata menahan tawaku, puisi pagi ini tidak ada asyik-ayiknya. Persetan dengan Andreas, dia harus punya pacar tahun ini ketimbang berkeluh kesah padaku dan Robb.
"Dude, buruk sekali. Kau yakin tidak mau aku saja yang menyetir?" Lagi pula ini mobilku.
Andreas menggeleng ringan, asap rokoknya berembus dengan panjang kali ini. "Tidak, tidak. Kalau kau yang menyetir, aku tidur pulas. Kalau aku tidur pulas, artinya kau tak akan bisa membangunkanku."
"Aku teriak."
"Tetap tak bisa bangun."
"Aku siram."
"Hell. No." Kami bersamaan terbahak, barangkali membayangkan wujud Andreas yang tiba-tiba basah karena ulahku.
Mobilku berbelok dengan anggun, memasuki pintu gerbang sekolah yang terpancang megah di kawasan yang begitu stabil di tengah kota. Sebuah gardu dengan plang semen berukir dihiasi campuran warna emas dan merah khas sekolah selalu menyapa kami setiap pagi. Selain itu, maskot sekolah yang dilambangkan dengan Minutemen dipajang di pagar depan.
Highland Park
Senior High School of Saint Paul
Founded in 1866"Challenge, Envision, Achieve."
Area parkir berada di sisi timur sekolah, aku melihat ada beberapa mobil yang baru masuk di sana dan masih banyak sekali ruang yang tersisa untuk kami.
"She's here today?" tanya Andreas begitu mobil sudah terparkir rapi, untungnya posisi kami tak begitu jauh dari pintu masuk.
"His step sister?" tanyaku, mengonfirmasi bahwa kami membicarakan orang yang sama.
Andreas mengangguk sembari kami membuka pintu dan berjalan ke bumper depan.
"Seharusnya begitu," jawabku pelan. Aku menyandarkan tubuh pada kap mobil, cahaya matahari mulai silau di mataku sehingga aku harus menyipitkan mata. Sekelilingku adalah pemandangan area parkir Highland Park dimana setiap harinya beberapa siswa memilih untuk menghabiskan waktu sebelum bel berbunyi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dancing With A Stranger
Teen FictionPernikahan bunda dengan seorang pria Amerika bernama Richard cukup membuat hidup Aulia Wijaya seperti sedang jungkir balik di luar kendalinya, terlebih ketika ia terpaksa meninggalkan Indonesia untuk memulai hidupnya dari awal di St. Paul, kota keci...