SEBASTIAN RILEY
Robb tak pernah gagal menjadi disjoki dadakan setiap kami menyelenggarakan pesta. Semua orang bersorak ketika temanku itu datang, dia pun mulai bermain bas elektrik sebelum mengotak-atik penyintesis, sinar laser berpola matriks pun menari-nari di ruangan dengan cepat, mendarat di wajah orang-orang yang saling beradu.
Lima menit menyeruput alkohol adalah rekor paling cepat yang pernah aku capai untuk merasakan cairan itu sudah menjalar ke seluruh tubuh, kecepatannya memompa jantungku kini dua kali lebih cepat. Aku tahu aku tak semudah itu untuk jadi teler—aku tahu batasku. Namun jarang sekali aku menjadi toleran seperti hari ini.
Pertama, kakiku di-gips. Kedua, hari ini rasanya aku muak saja untuk berpesta. Memakan pizza yang tertumpuk di hadapanku sepertinya salah satu hal yang terbaik malam ini. Kalau saja aku tidak jijik pada Andreas yang sedang lahap makan dengan setengah mabuk, aku pasti tidak akan menjauhkan diriku seperti sekarang.
"Dude, kau babi ya?" tanyaku setengah mencemooh, sementara Andreas hanya menyengir padaku. Aku akan menganggap itu adalah jawaban 'iya'. Hilang sudah napsu makanku karna dia.
Aku mengendarkan pandangan, mencoba mencari sesuatu yang menarik. Aku melihat Nick yang baru saja datang untuk bergabung dengan Andreas, dari meja yang dipenuhi pizza itu dia menyodoriku sebatang rokok. "Kau tidak keren dengan soda dingin di tangan."
Tanganku meraihnya namun kembali menempatkannya ke meja setelah merasakan bahwa kondisiku sedang tidak tepat untuk melakukannya. "Ruangan ini sesak sekali," keluhku asal-asalan dan Nick meresponku dengan menganggukkan kepalanya, lalu kembali melahap pizza.
Karna getir, aku mendengus dan memilih untuk bersandar ke sofa. Tatapanku terfokus pada langit-langit, menenggelamkan pikiranku ke sana. Belum lewat setengah hari setelah insiden yang menimpaku di pertandingan dan sekarang sifatku sudah seperti perempuan yang sedang PMS.
Jacob sialan, cecarku dalam hati. Seharusnya aku menikmati malam kemenangan kami, namun karna ulahnya-lah kakiku menjadi semenyedihkan begini. Efeknya masih menghasilkan ngilu jika aku bergerak, namun untungnya tak seburuk itu karna aku masih bisa berjalan tanpa menggunakan tongkat.
"Oh, that's her."
Mataku otomatis berpindah untuk melihat maksud dari suara Andreas. Di balik mulutnya yang penuh, temanku itu menunjuk ke kerumunan di hadapan kami. Aku tak perlu bertanya karna tak susah untukku menemukan siapa yang Andreas maksud.
Sosoknya begitu jauh, ku lihat wajahnya yang kebingungan dalam mengambil langkah demi langkah, lalu menyelip ke tubuh-tubuh para remaja yang menari.
Padahal baru beberapa hari sejak terakhir kali kami bertemu, namun rasanya sudah lama sekali.
Di tambah, sosoknya semakin mempesona saja. Ketertarikan mataku untuk terus melihatnya sedang dengan tidak sinkron dengan jantungku. Aneh sekali kondisiku akhir-akhir ini.
'Ke sini, ayolah' pintaku dalam diam, setengah berjerit berharap dia bisa mendengar keinginanku. Ku tahu itu tak masuk akal, tapi tiba-tiba saja Lia menoleh padaku dan menyeret kakinya menuju sofa tempatku mendudukkan diri. Aku bisa merasakan sentruman kecil saat mencium aroma parfumnya yang khas. Aroma yang mulai terbiasa hinggap di hidungku.
"Hi," sapanya dengan senyum yang cantik. "Bagaimana kakimu?"
Aku melihatnya menarik napas dan melihatku dengan pandang mata yang ... bagaimana untuk menjelaskannya, ya? Dia tidak berani melihat mataku langsung, pandang matanya turun dan mencari objek lain sampai dia bisa menemukan kakiku yang digips.
"Good, hanya memar."
Seringai tipis muncul di ekor bibirnya. Dengan caranya menemukan kebohonganku saja dia bisa terlihat menjadi secantik itu. Aku mau tak mau ikut tersenyum, tertangkap basah namun kubiarkan saja.
"Memar, tapi pakai gips. Kau tidak pintar berbohong, Sebby. Bisakah aku pukul kakimu kalau hanya memar?" canda Aulia dengan tangannya yang sudah terkepal di depan wajahku, matanya berbinar dengan usil.
"Jangan dong. Aku akan berteriak kalau begitu. Miss Wijaya berbuat kasar padaku!"
"Tidak ada yang dengar, musiknya kencang." Dia menjulurkan lidahnya.
"Aku akan berteriak lebih kencang sampai mereka yang di teras akan mendengar."
"Mana mungkin. Itu tak masuk akal."
"Aku akan meraung." Aulia tertawa
"Aku akan menutup mulutmu dengan cepat."
"Menutup mulutku dengan apa? Bibirmu?"
Fuck.
Aku tak akan sadar bahwa arus dari lelucon dan perdebatan ini telah kubawa pada rute yang berbeda. Lebih tepatnya, aku keterlaluan sehingga tawa yang terlukis dari wajahnya mendadak hilang. Aku merasakan degup jantungku meningkat signifikan saat melihat tubuhnya mundur beberapa inci dari tubuhku.
Sebelum bertemu Aulia, godaan tersebut selalu berhasil membuat para gadis lain tertawa dan aku dapat melihat wajah mereka berubah merah. Malam ini, aku sadar bahwa tidak semua gadis dapat kugoda dengan cara seperti itu. Mungkin... yah, mungkin Aulia akan jijik padaku setelah ini.
"Maaf. Aku tidak bermaksud untuk-"
"Aku tahu," jawabnya cepat, lalu memaksakan bibirnya untuk tersenyum padaku. Senyum tersebut terkesan dingin, seperti dia sama sekali tak berniat memberikan senyum itu padaku. "Kita asyik-asyik saja tadi dengan lelucon kita. It is just me, seharusnya aku tidak membuat suasana ini jadi awkward."
"Tidak, kau tidak paham. Aku benar-benar minta maaf. Kalimat itu tidak bermaksud apa-apa."
"Tentu." Suaranya serak dan pelan. kini dia tidak memandangiku lagi. "Tentu saja tidak ada maksudnya."
Oh, tidak. "Bukan, maksudku. Begini.. Aulia.. fuck. Aku tidak bisa menjelaskannya."
"It's okay." Gadis itu tertawa pelan, ia mengangkat satu cup penuh soda yang belum dijamah siapapun dari atas meja. Bersamaan dengan itu dia berdiri dan seketika kekosongan memenuhi ruang kosong di sebelahku. Aku ingin menahannya karena aku tahu dia akan pergi, tapi sepertinya sudah terlambat. "You can't be deadly serious about the kiss. I'm your bestfriend's step sister after all, Sebby."
"Mm hm." Hanya itu yang dapat keluar dari tenggorokanku, mataku hanya dapat mengantar sosoknya pergi semakin menjauh. Dia berbalik, tersenyum padaku sebelum tenggelam disambut oleh teman wanitanya yang lain. Selama dia dapat melihatku, aku ingin mengatakan bahwa dia tak sepenuhnya benar dan aku masih menginginkannya disini di sebelahku.
TO BE CONTINUE
It has been so long. Aku sendiri gatau apakah masih ada yang masih nungguin cerita ini apa ngga.. kalau iya, makasih sebesar-besarnya karena masih berada di sini. Soon, aku bakal coba buat terus update dengan kesibukan di kantor yang rada ga waras ini. Hehe. Here you go the Chapter 13 with Sebby's POV, siapa yang kangen Aulia dan Sebastian?
Anyway, aku terbuka dengan segala macam ide untuk perkembangkan story lineku. Jangan sungkan untuk komen atau singgah langsung ke DMku ya.
Terima kasih sekali lagi. Have a really nice Sunday, everyone!
-
Komentar, kritik, saran, dan vote kalian sangat berarti buat aku. Jadi, tolong tinggalkan jejak sekecil apapun itu setelah kalian baca "Dancing With A Stranger" ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dancing With A Stranger
Teen FictionPernikahan bunda dengan seorang pria Amerika bernama Richard cukup membuat hidup Aulia Wijaya seperti sedang jungkir balik di luar kendalinya, terlebih ketika ia terpaksa meninggalkan Indonesia untuk memulai hidupnya dari awal di St. Paul, kota keci...