AULIA WIJAYA
Hari Senin adalah hari kedua aku merasakan udara pagi dari sudut bumi yang berbeda. Tidak pernah dalam hidupku untuk berdoa tepat setelah jam weker di sisi tempat tidurku berbunyi. Doaku hanya untuk keberuntunganku saja dan jangan ada kesialan yang menimpa di hari pertama sekolah. Aku berharap doaku terkabulkan.
Ngomong-ngomong, aku sudah berhasil melewati hari pertama di St. Paul dan semuanya berjalan sangat lancar.
Minggu pagi Robb membawaku menuju shopping mall terdekat. Aku mau tak mau salut padanya karna dia begitu sabar ketika menungguku memilah-milih pakaian, mengekori keluar masuk gerai busana, bahkan ikut andil dalam memilih barang-barang yang cocok padaku. Pada akhirnya setelah belanja 'hebatku' hari itu, kami merasa puas sendiri.
Bagaimana tidak bisa kami bilang hebat: kaos, dress, mantel, jaket, yoga pants, leggings, boots, dan barang-barang lainnya memenuhi bagian belakang mobil Robb. Aku harus jujur baru kali ini belanja seperti orang kesetanan. Apalagi fakta bahwa musim dingin sebentar lagi tiba dan St. Paul merupakan salah satu kota terdingin di US, itu artinya aku butuh banyak sekali pakaian tebal dan hangat.
Dalam beberapa jam menghabiskan waktu dengan Robb, aku menemukan satu hal yang ternyata menjadi kesamaan di antara aku dengannya. Bahwa kami diam-diam memendam hasrat teramat kuat pada barang-barang branded, tapi bukan sebagai obsesi tentunya. Tenang saja, kami masih remaja normal yang suka barang bagus namun bukan suatu prioritas apalagi karna gengsi semata.
"Fun fact, a pair of Armani jeans were made more poorly compared to a cheap Levi's!" serunya. Aku masih mengingat percakapan panjang kami. Siang itu aku dan Robb benar-benar menghabiskan waktu untuk mengenal satu sama lain sebagai kakak dan adik.
Sesampainya di rumah dan mengantar Robb bersama mobilnya yang terbirit-birit keluar dari carport untuk pergi latihan, Karina menghubungiku dan kami bicara empat jam lamanya. Mendengar suaranya sukses membuat rasa muramku tenggelam oleh percakapan kami yang tak ada habisnya.
"Nih ya, tip number one!" ucapnya bersemangat, aku mengaku sedang gelisah mengingat Senin adalah hari pertamaku bersekolah. Meminta saran pada Kirana memang selalu menjadi cara yang tepat.
"Don't walk into school like you own the building. Lo tuh lagi-lagi jadi anak baru, tau lah ya gimana—kan baru aja kemaren ikutan MOS." Aku mendengarnya terkekeh. "Be respectful and confident, Lia!"
Aku terus memutar tips pertama dari Kirana tepat setelah kakiku menginjak aspal parkiran dan melihat matahari yang mulai naik meninggi. Walaupun untungnya aku tak telat, tapi aku bisa merasa semua mata memandang ke arahku. Wajar saja menurutku, siapa yang tidak penasaran menemukan anak baru dengan wajah Asia di tengah-tengah parkiran sekolahmu?
Sopan, ceklis. Tanganku merapikan dress rajut berwarna hitam selutut yang menempel dengan pas di tubuhku, ditambah jaket denim oversized yang aku gulung sampai lengan. Aku melengkapinya dengan sneaker putih dari Keds pilihan Robb kemarin. Tergeser sudah adegan serba putih abu-abu yang jadi rutinitiasku setiap pagi di Jakarta.
Rasa percaya diri? Hal kecil yang benar-benar rumit—but, ceklis! Terlepas dari rasa gugupku yang tak hilang sejak tadi malam, aku mencoba merasa nyaman pada diriku sendiri. Senyum, kata orang adalah tindakan yang memiliki segudang keajaiban.
Tip number one, an easy one for me. Aku merealisasi sekelilingku di mana aku sudah berada di masa sekarang yang akan aku lewati sebagai bagian dari remajaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dancing With A Stranger
Teen FictionPernikahan bunda dengan seorang pria Amerika bernama Richard cukup membuat hidup Aulia Wijaya seperti sedang jungkir balik di luar kendalinya, terlebih ketika ia terpaksa meninggalkan Indonesia untuk memulai hidupnya dari awal di St. Paul, kota keci...