3. The New Cassidies

780 115 48
                                    

SEBASTIAN RILEY

Tidak ada yang lebih menyebalkan daripada berada di wastafel yang terletak di dapur rumah sahabatku. Tetes air keran yang kuhidupkan terdengar jatuh sangat deras memecah sepinya dapur malam ini dan tanganku berbusa karena sabun. Aku benci mencuci.

Aku pernah melihat Robb jadi brengsek, tapi dia lebih brengsek lagi sekarang. Baru saja dia emosi karena aku tidak mencuci gelasku. GELAS. Padahal aku hanya minum air putih dan aku taruh di BAK CUCIAN bukannya sembarangan. Tapi dia tetap bersikeras isi rumah harus bersih semuanya. Dia juga marah pada 'sepatuku' karna dia bilang mengotori teras padahal rasanya bersih-bersih saja. Entah sebenarnya aku yang dimarahi atau sepatuku, tapi kerjaannya hanya mengomel dan tiba-tiba jadi clean freak begini.

Sudah terhitung seminggu dan aku masih ingat sahabatku ini mengoceh mengenai kedatangan tamu spesialnya. Musim panas kemarin Robb mengunjungi Bali untuk pernikahan Richard dengan seorang wanita, aku turut senang melihat betapa bahagianya kedua ayah dan anak itu setelah kepulangan mereka.

Aku mengerti dengan jelas alasan dia panik dan menyebalkan begini. Aku tidak menyalahkannya bahkan marah karena mungkin aku juga akan jadi sama buruknya jika berada di posisinya.

Robb selalu cerita padaku betapa baik pihak keluarga tirinya, betapa cantik ibu tirinya, dan betapa indahnya Bali yang membuatku iri bukan main. Seharusnya aku dan Andreas bisa pergi ke sana kalau keluargaku tidak berencana ke Virginia dari jauh-jauh hari dan Andreas yang dipaksa harus mengikuti program football camp dari Nike.

Kakiku mengitari dapur setelah mencuci gelas yang menjadi 'masalah besar' untuk Robb barusan. Aku bergegas menuju ruang keluarga, hendak bergabung dengan sahabatku yang lebih dulu masuk Fortnite dengan konsol Xbox di tangannya. Tanpa diduga aku tersandung, kakiku menabrak sesuatu yang bergelembung dan berisi.

"What the f—" Aku melirik benda itu dengan gusar namun ternyata yang kutabrak adalah sebuah karung besar bermerk, kubaca di atasnya ternyata bertuliskan 'Thai Fragrant Long Grain Rice'.

Ah, iya. "Dude, aku baru ingat ibu tirimu orang Asia," kataku pada Robb, matanya berkilat sibuk dengan gamenya sendiri tapi dia mendengarku.

"Kenapa memangnya?"

"Mereka selalu makan dengan nasi katanya," jawabku seraya menghempaskan diriku ke sofa, menonton aksi karakter Robb yang sedang terjun lurus dengan kecepatan maksimum. "Aku tersandung karung beras yang besar itu, kau tahu."

Kami orang Amerika sebenarnya juga makan nasi, tapi bukan sebagai makanan wajib kami. Nasi yang biasa kami makan biasanya dihidangkan dengan saus, garam, atau mentega bahkan dengan gula dan susu, bukannya nasi putih 'plain' yang biasa orang Asia makan. Kami lebih memilih pasta, kentang, atau roti ketimbang nasi.

"Ya, tapi apapun masakan ibu tiriku kalau dicampur dengan nasi sangat enak. Kau harus coba."

"Really?"

Robb mengangguk dengan bangga. "Ada masakan yang namanya Rendang. Semacam steak yang dipotong-potong lebih kecil tapi mereka punya saos yang berbeda, lalu kau campur itu dengan nasi. Man, kau tak akan lupa bagaimana rasanya... AAAAH SIALAN AKU MATI!" pekiknya kesal pada karakternya sendiri di TV. Kesepuluh jarinya meremas dan menarik rambutnya sendiri dengan geram seperti menahan amarah yang begitu besar.

Dancing With A StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang