"Ya ampuuuun, banyak sekali materi yang harus dipelajari." Aku menggerutu sambil meluruskan tangan dan wajah yang kusandarkan pada meja. Dua lebar kertas tergeletak begitu saja di sampingku.
"Minumlah," Ilan menyodorkan sebotol susu rasa blueberry. Aku tidak menggubrisnya. Kemudian, dia mendekatkan botol dingin itu pada pipiku. "Bagaimana? Pikiranmu sudah dingin sekarang?"
Aku tersenyum meraih botol dari tangannya.
"Memangnya ini kertas apa?" Ning bertanya sesudah duduk di sampingku. "Sayang, ini tentang apa?" Ning yang tidak mau menungguku menjawab, segera melemparkan pertanyaan pada Noe, laki-laki yang disukainya saat ini.
"Oh, tadi Kak Andi datang. Katanya Mona diikutkan untuk seleksi peserta olimpiade."
"Kamu ikutkan, Noe?" Ilan bertanya.
"Iya dong. Noe ikut untuk bidang Mate-matika. Tadi aku lihat di papan pengumuman."
Ya, ampun, kalau Ning melihat di papan pengumuman, harusnya dia juga melihat namaku di sana.
"Maaf, Mona. Aku tidak lihat bidang lainnya. Aku hanya lihat Mate-Matika saja, soalnya aku percaya kalau di situ ada nama Noe."
"Makasih, Sayang," balas Noe dengan lembutnya. "Ngomong-ngomong, kamu sudah kerjakan tugas yang kuberikan?"
Mendadak wajah Ning berubah, "Ah, itu..., semalam..., sebenarnya aku udah kerja. Tapi...,"
Noe menghela napas panjang. "Ning, kalau kamu mau berusaha pasti bisa. Sekarang target kamu kan itu. Jadi, perkuat dengan usahamu."
Aku dan Ilan saling berpandangan. Target? Apa mereka berdua sedang melaksanakan sebuah misi, bisnis, atau suatu tindakan yang memerlukan target? Kuminum lagi air dingin pemberian Ilan.
Beberapa menit yang lalu, saat aku tengah sibuk memahami soal-soal kelas sebelas. Ilan datang dan memberitahukan kalau Kak Andi mencariku. Kakak tingkat berkacamata itu berdiri di pintu masuk kelas. Aku menghampirinya, dengan tenang dia mengatakan selamat padaku. Dan dengan santainya dia menyodorkan dua lembar kertas yang berisi rangkuman materi yang akan diolimpiadekan.
"Bukankah itu bagus? Kenapa kamu justru memasang wajah menyedihkan begitu?" Ning bertanya lagi. "Aku dengar untuk juara pertama mendapat uang tunai loh,"
Mataku langsung bersinar. "Uang tunai? Berapa?"
Ning memasang wajah dengan senyum yang dalam, aku yakin itu bukan senyum yang dipersembahkan sebagai tanda hati yang sedang dalam mood yang bahagia. Dia meletakkan jari telunjuk dan jempolnya di bawah dagu. "Oh, jadi sekarang kamu mau ikut seleksi? Hehe," Dia menambahkan tawa mengerikan di belakang kalimatnya.
Aku mengambil sisi positif dari apa yang dikatakan Ning. Benar juga, dengan ini aku sekalian bisa mengumpulkan uang untuk tabunganku, selain itu sekalian juga aku dapat mempelajari soal-soal dan pasti akan mendapat bimbingan juga. Aku mencermati point-point materi, di sampingku Ilan membantu dengan menandai halaman-halaman yang berhubungan dengan materi. Ah, Ilan memang bisa diandalkan tidak seperti Ning yang dengan tega memamerkan majalah fashion mingguan. Dia mengganggu Ilan yang membantuku, sesekali Ilan mengalihkan pandangannya ke majalah. Sampai jam berakhir, Ilan setia menemaniku.
"Jadi, kamu memutuskan untuk ikut? Padahal bisa mengundurkan diri kalau tidak ingin jadi peserta." Ilan menutup novel yang tengah dibacanya. "Ini roti, tadi aku sempat beli di kantin." Ilan meletakkan roti selai blueberry di depanku dan menyodorkan roti isi keju pada Ning. "Maaf, aku tidak bisa menemanimu belajar di perpus. Aku sudah janji sama—,"
"Sama aku!" Ning loncat di hadapanku. "Sebagai gantinya, aku mengizinkanmu untuk belajar dengan Noe."
"Sorry!" Noe menjawab pelan. "Aku tidak bisa."