Matahari Tenggelam Itu Indah

111 3 0
                                    


Taman Kota saat pagi hari ternyata cukup ramai. Beberapa kelompok melakukan senam, sisanya berlarian di sepanjang jalan berkonblok. Aku berdiri di depan jam besar. Aku benar-benar berangkat kepagian. Saat ini jam menunjukkan masih lima belas menit lagi akan sampai tepat pada pukul delapan pagi.

Aku membuka kotak musik dalam tasku. Beruntung sudah setahun ini, baterai kotak musik yang berwarna hitam pekat dengan pinggiran emas, belum minta diganti. Aku mendengungkan musik yang keluar dari dalam benda berukuran sepuluh sentimeter ini. Sebuah instrumen dari piano. Sebuah hadiah kecil dari Mama saat aku lulus sekolah dasar.

"Maaf aku terlambat!" Kak Andi berlarian ke arahku. Napasnya tersengal-sengal. "Mona sudah menunggu dari tadi?"

"Baru. Ini juga belum jam delapan tepat, masih ada tiga menit lagi," kataku menunjuk jam yang ada di belakangku.

"Syukurlah." Kak Andi kemudian terduduk di depanku dengan meluruskan kakinya.

"Oh ya, aku beli susu kedelai. Mau?"

"Terimakasih." Dia mengambil susu yang kusodorkan. Aku ikut duduk di depannya.

Untung aku mengenakan baju harian, kaus longgar warna hijau tua, dan celana jeans lengkap dengan sepatu kets. Dengan pakaian seperti ini, aku tidak kerepotan untuk duduk dimana saja. Aku memangku tas ransel. Kulihat, Kak Andi masih mengatur napasnya. Keringat terlihat banyak di dahi sampai rambutnya basah.

"Jadi, kita akan kemana?"

"Kemana saja. Aku bawa motor. Aku ingin jalan-jalan bersama Mona saja hari ini. Eh, Mona ada acara untuk sore?"

Aku menggeleng.

Setelah beristirahat sekitar dua puluhan menit, Kak Andi berdiri, aku ikut berdiri. Saat dia berjalan, aku ikut melangkah bersisian di sampingnya. Hari ini, kami benar-benar menghabiskan waktu hanya berkeliling kota dan singgah sejenak di tempat makan untuk mengisi perut yang keroncongan. Kak Andi sampai harus isi full tank di dekat Taman Kota. Kami berhenti di pinggir laut. Di atas pembatas laut dari beton, kami duduk. Matahari mulai menjingga.

"Indah bukan?"

"Benar-benar bagus. Aku jarang melihat matahari terbenam dari pinggir laut. Benar-benar seperti lukisan yang sering kulihat."

"Mona benar,"

Aku kagum dengan apa yang kulihat. Matahari terlihat bulat dan tidak menyilaukan seperti saat aku pergi sekolah. Tidak membuat gerah seperti ketika pulang sekolah. Matahari dan teduhnya langit menjadi perpaduan yang indah. Angin yang bertiup membuat rambutku sedikit berantakan. Aku dapat mendengar suara air laut yang menabrak pembatas. Berbunyi pelan. Dan ...,

"Kak Andi?" Aku merasa diawasi oleh Kak Andi sejak tadi. Bukan, ini bukan diawasi, tapi Kak Andi menatapku. Wajahnya memerah, aku yakin itu karena sinar matahari yang perlahan tenggelam. Aku, aku merasa malu jika ditatap seperti ini. Jarakku dan Kak Andi kurang dari satu meter.

"Maaf. Aku membuat Mona terkejut lagi ya?" Kak Andi mengalihkan pandangannya ke pergelangan tangan yang dilingkari oleh jam tangan berwarna hitam. "Sudah sore. Sebaiknya kita pulang."

Sejak aku mengenal Kak Andi, aku baru sadar akan satu hal. Ketika aku duduk di belakangnya, aroma parfum jeruk yang dikenakannya menguar bersamaan dengan angin yang berembus. Aroma yang begitu menenangkan.

Kak Andi ... selalu menyebut namaku. Hal yang benar-benar aku tidak sadari sejak pertama kami bertemu di perpustakaan. Mona, dia selalu menyebut namaku.

––––0––––

Noe dan Kak Andi berhasil sebagai perwakilan sekolah dengan masing-masing tiga orang per mata pelajaran. Mereka berangkat diantar oleh pihak sekolah menggunakan kendaraan sekolah. Ning membuatkan roti bakar untuk Noe, katanya Noe tidak sempat sarapan karena harus berangkat sebelum jam tujuh untuk pengarahan terlebih dahulu.

Mereka akan berangkat sekitar jam delapan. Bertepatan dengan ujian penaikan kelas yang telah selesai dilaksanakan.

"Kamu tidak buatkan Kak Andi bekal?" tanya Ning ketika kami duduk di koridor kelas.

"Kenapa aku harus membuatkan Kak Andi bekal?"

"Loh, bukannya kalian pacaran?" Kali ini Ilan yang bertanya dengan nada suara yang terkejut.

Aku hanya menggeleng. Mana mungkin aku punya hubungan seperti itu. Apalagi dengan Kak Andi. "Oh ya, akhir-akhir ini kamu sibuk. Kamu kemana?" aku bertanya pada Ilan.

"Aku membaca di perpustakaan kota. Mereka punya koleksi novel terbaru. Bahkan, aku bisa pesan novel yang belum tersedia di perpustakaan sana." Ilan menjawab, ada rona di wajahnya. Dia tersenyum ketika menjelaskan. Ini berbeda ketika dia bercerita seperti biasanya. Dia sangat antusias menceritakan novel yang dibacanya, kali ini senyumannya begitu bahagia.

"Oh ya! Aku baru ingat, kita pernah membahas tentang orang yang kita sukai. Mona sudah cerita, kalau aku kan sudah jelas sangat suka sama Noe. Nah, bagaimana dengan Ilan?"

"Betul juga. Aku baru ingat. Wah, Ning memang hebat untuk urusan mengingat hal ini." Kutekan kata ini, sebetulnya Ning hanya tertarik soal cinta. Kalau ingatannya bisa sedikit difungsikan ke pelajaran, tentu dia tidak harus masuk lingkaran sepuluh terbawah dalam peringkat kelas.

Ilan menyibak rambutnya. "Ada seseorang yang sedang menarik perhatianku saat ini." Dia bercerita dengan wajah yang bersemu kemerahan.

"Hah? Siapa, siapa?" Ning memotong. Dia sangat antusias sekarang. bahkan dia merapatkan duduknya pada Ilan.

"Aku bertemu dia beberapa kali. Aku harap ini semacam takdir."

"Hah? Dimana, dimana?" Ning ..., aku ingin menyumbat mulutnya untuk tidak bertanya.

Ilan tertawa, "Di perpustakaan, di toko buku. Dia sehobi denganku."

"Siapa nama—" Kali ini aku yang memotong perkataan Ning. Tidak kusumbat mulutnya, namun kujitak dahinya. Ning mengaduh kesakitan. Aku mengatakan untuk tidak memotong perkataan Ilan kalau tidak mau mendapat jitakan yang lebih keras.

"Aku juga belum tahu namanya. Pertama kali ketemu di toko buku, dia dan aku mengambil novel yang sama. Sayangnya, hari itu tersisa satu dan beruntungnya dia memberiku novel tersebut. Aku sangat senang menerimanya. Terus, yang kedua saat aku hendak meminjam novel di perpustakaan kota, kami bertemu kembali. Dia berencana mengembalikan novel yang akan kupinjam."

"Kalian sudah bertemu dua kali dan tidak saling mengenal nama?"

"Iya." Ilan tersenyum dan wajahnya merona saat menjawab pertanyaanku. "Aku berharap ketika pertemuan ketiga kami bisa saling mengenalkan diri masing-masing."

"Waah, s-o s-w-e-a-t. So sweeeeeet!"

"Yang betul bukan pakai a tapi e, kalau a itu berarti keringat." Aku tidak menjitak kali ini kepala Ning, aku mengelusnya seperti yang sering Noe lakukan. "Belajar lagi ya, Ning sayang."

"Yang rajin ya belajarnya, Ning sayang." Ilan ikut menggoda Ning.

"Wah, love effect!" Ning memegangi kepalanya. "Kamu juga sedang jatuh cinta. Kalian mengerikan. Noe, selamatkan aku!" Ning merengek saat Noe berada tepat di depannya.

Ning segera berdiri ke sisi Noe, dia membisikkan sesuatu. Noe hanya bisa tertawa dan mengusap kepala Ning. "Oh ya, aku rasa kita bisa sekelas lagi untuk kelas dua. Aku tidak sengaja lihat pekerjaan kamu di meja guru, mate matikanya benar lebih dari 50%. Kamu sudah berjuang keras Ning sayang."

"Ning saaayaaaaang!" Aku dan Ilan kompak menggoda Ning.

"Tidaaaaaaaaaak!"

––––0––––

MelepasmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang