Pengakuan

66 1 0
                                    


Aku masih tidak berani bertanya apa yang terjadi antara Ilan dan Bagas. Hubungan mereka seperti biasanya, saling bertukar novel, saling berbalas senyum dan tegur sapa.

Saat di kafe, mereka merayakan dengan cukup berisik. Ning menyindir-nyindir tentang bunga yang tidak lepas dariku. Kujawab dengan santai ini bunga ucapan selamat dari Kak Andi. Ning menyenggol bahuku, semakin larut dalam keasyikannya sendiri menggodaku. Padahal, dia sudah tahu bagaimana perasaanku.

Setelah pertandingan, minggu berikutnya kami libur. Kak Andi ujian nasional. Sesuai kesepakatan, kami tidak saling menghubungi. Liburan di rumah cukup menjenuhkan.

Ada saat-saat Kak Ayu pulang dan kami berkumpul sekeluarga. Keluarga yang selama ini aku impikan.

"Lihat aku dan Kak Ayu!" Saras berseru. Menarik Kak Ayu mendekat padanya. "Lihat, kami berdua langsing karena makan teratur, tidak jajan sembarang dan rajin olahraga,"

"Oh,"

Saras bertolak pinggang, berpikir sejenak dan mengangkat bajunya dan baju Kak Ayu. Aku terkejut.

"Lihat perutku dan Kak Ayu," Dia menarik perutnya. "Tidak ada lemak yang bergelantungan seperti burger di sini!"

"Kamu tidak usah melibatkanku," kata Kak Ayu.

"Oh,"

Mata Saras menatap sinis pada Kak Ayu. "Aku mau Kak Mona memerhatikan dirinya. Supaya dia cantik,"

Saras dan Kak Ayu menurunkan bajunya. Kak Ayu duduk dan menyesap susu hangat yang dibuatkan Mama. Dia baru saja pulang lari pagi bersama Saras. Sedangkan aku baru saja bangun tidur bahkan belum sempat mencuci muka.

"Mona, kan sudah cantik." Ayah yang baru saja keluar dari kamar menjawab kalimat Saras.

Bibir Saras cemberut. "Tapi, aku maunya dia modis."

"Cantik apa adanya itu lebih indah dilihat, bukan? Kamu tidak bisa merubah orang seperti keinginanmu," Kak Ayu membelai kepala Saras.

Saras pun diam.

Aku beberapa kali mampir ke swalayan dekat rumah, menanyakan kerja sambilan untuk mengisi waktu. Pemiliknya sangat baik, berusia sekitar tiga puluhan dan memiliki seorang anak. Dia menerimaku kerja tanpa syarat, dia juga sering memerhatikanku ketika belanja, sehingga dia percaya bahwa aku orang yang dapat diandalkan.

Pemilik swalayan mengatakan jadwal kerjaku bisa menyesuaikan dengan pelajaran di sekolah, aku sangat berterima kasih atas pengertiannya. Sudah tiga hari aku kerja sambilan. Mama dan Ayah tidak mempermasalahkannya, justru Saras, dia mengatakan aku akan mencuri kesempatan untuk mengemil di swalayan. Dia bahkan sering datang dengan alasan tidak jelas ke swalayan.

Pada Saras, aku mengatakan untuk tidak memberitahukan kalau aku kerja di swalayan. Dia menyetujui dengan syarat membantunya mengerjakan tugas. Bukannya menungguku pulang, justru dia mengacaukan di tempat kerja. Dia membawa buku-buku pelajarannya dan dengan lihai dia menerkamku saat tidak ada pelanggan.

"Kak Mona!" Anak pemilik swalayan memanggilku. "Boleh, aku juga ikut belajar?"

Saras dengan sok akrabnya menarik lengan anak lelaki yang berusia sebaya dengannya itu. Dia tidak keberatan jika Ichal ikut belajar bersama.

Ichal pemalu, dia lebih banyak diam dan tenang. Dia bersuara ketika bertanya dan mengatakan bahwa soal yang kuberikan sudah dia selesaikan. Berbeda dengan Saras, dia mengerjakan sambil terus berbicara tanpa henti. Menanyakan kepribadian Ichal.

Sesekali, aku mengecek mereka berdua. Sisanya, aku mengatur barang-barang di rak, merapikan kardus-kardus yang menumpuk di gudang dan menyapu lantai.

MelepasmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang