Sekarang, aku jarang bisa berbincang lama sama Bagas. Kami memang dekat, namun seakan ada jembatan rapuh yang tidak bisa kulalui untuk mencapai dia di seberang sana. Butuh keberanian dan nekad untuk bisa berlari mengejar dia, tapi sayangnya aku tidak bisa melakukan itu semua. Bagas, kulihat begitu sibuk selesai sekolah, dia tidak pernah berkumpul bersama lagi.
"Anak itu kembali lagi seperti dahulu," Noe bergumam pelan. Aku dan Noe sama-sama mendapat tugas untuk ke ruang guru menyetorkan kumpulan tugas teman-teman. Ning dan Ilan rencananya akan pergi melihat baju terbaru di butik langganan mereka.
"Siapa yang kamu maksud? Ning?" Aku bertanya, pura-pura menganggap pembicaraan ini biasa saja. Namun, aku berharap Noe mengerti maksudku, dia bergumam ketika Bagas bilang akan pergi duluan di depan pintu kelas.
"Bagas,"
Kami berjalan bersisian di koridor kelas.
"Oh...," aku memutar otak. Berusaha memancing percakapan. "Memangnya dia kenapa?"
Kedua tangan kami penuh dengan buku catatan teman sekelas. Aku dan Noe membaginya sama rata.
"Ini seperti beberapa tahu lalu. Riana, perempuan itu tidak bisa melepaskan diri dari Bagas. Benar-benar simbiosis parasitisme,"
"Eh? Parasit? Benalu begitu?"
"Tidak, aku salah. Maksudku yang satunya,"
"Mutualisme? Mereka saling menguntungkan?"
Noe menggeleng.
"Oh, komensalisme? Satunya diuntungkan, satunya tidak merasa dirugikan atau diuntungkan." Kami berbelok. "Kenapa kamu bilang seperti itu Noe?"
Noe mengembuskan napas. "Bagas tidak bisa melepaskan perempuan itu, setahuku mereka sudah pernah saling berjanji. Janji yang benar-benar tidak berguna,"
Aku terhenti. Noe menoleh.
"Hubungan mereka? Maksudmu? A-apa seserius itu hubungan keduanya?"
Noe membalikkan badannya. "Aku tidak tahu pastinya, tapi Noe tidak akan meninggalkan Riana sampai Riana benar-benar bisa kembali seperti Riana yang dahulu."
Penjelasan Noe benar-benar memusingkan, lebih pusing dari pada soal deret angka hitung yang diberikan oleh Mr. Kalkulus, julukan guru Mate-Matika untuk kelas tiga, setelah Mr. Algoritma dan Mrs. Trigonometri.
"Aku tidak paham maksud kamu. Yang kutahu mereka kan berpacaran? Seperti kamu dan Ning,"
Noe melangkah ke samping dan terduduk di lantai, aku ikut duduk di sebelahnya. "Sudah sejak kelas dua. Bagas selalu melindungi Riana. Dia menolong Riana meski pun kadang-kadang, aku merasa hati Bagas mungkin menjerit. Aku tidak yakin kalau mereka saling mencintai,"
Aku tertunduk. Seperti itukah hubungan mereka? Hubungan yang tidak saling mencintai? Harus dinamai apa hubungan seperti itu? Cinta atau ....
"Aku, tahu Ilan menembak Bagas dari Ning. Bahkan, kamu juga suka sama Bagas, bukan?"
Seketika wajahku memerah. Antara malu dan marah, Ning. Benar-benar perempuan itu tidak bisa menutup bibir berlipglossnya. Aku terkejut, berusaha menutupinya justru ketahuan. Segara sesuatu yang disembunyikan akan tercium, entah bangkai atau bunga.
"Mana mungkin aku suka laki-laki menjengkelkan seperti dia," aku berkata dengan suara bergetar. Tidak berani aku menatap Noe. Aku berusaha mengelak, Noe tidak mudah ditipu. Aku menyerah.
"Baiklah. Kumohon, jangan beritahu siapa pun,"
"Oke, tapi tolong pinjamkan aku buku persiapan soal ujianmu,"