Saras akhirnya pindah di rumah kami. Memiliki adik tiri yang seleranya sama dengan Kak Ayu memang sedikit merepotkan. Untungnya, Kak Ayu tidak bermulut pedas. Meski pun Kak Ayu model, kadang mengajakku belanja bersama dan berakhir Kak Ayu cemberut karena semua baju yang kubeli bentuknya sama, Kak Ayu tidak pernah ketus padaku.
Saras mengomentari bajuku, katanya seperti baju laki-laki. Memang iya sih. Masalah rok, aku hanya menggunakan ketika ke sekolah, dan beberapa rok panjang. Kadang aku mengenakan dress longgar selutut namun dipadukan dengan jeans atau legging. Selain itu, celana yang kupunya hanya skinny jeans, celana bermotif tentara selutut, dan celana pendek lainnya yang tidak lebih di atas lutut.
Aku berdiri di depan cermin kamarku. Kuangkat rok sekolah yang kukenakan sebelum berangkat. Kata Pak Adrian, hari ini kami istirahat untuk latihan.
"Benar-benar harus ditutupi." Aku mendesah, menarik tas yang tergeletak di atas tempat tidur.
"Luka jahit?" Sejak kapan Saras berdiri di depan pintuku. Dia melangkah ke arahku dengan memeluk seekor kucing berbulu putih lebat dan mata hitam pekat. "Kamu benar-benar seperti seorang monster. Dia seperti monster, ya Momo?" Kucing itu mengeong
"Apa yang kamu bicarakan?"
Saras berseru. "Ini keren! Monster. Ah, tapi tidak juga. Kudengar kamu terpeleset di halte."
"Siapa yang cerita padamu?"
"Kak Bagas. Itu adalah cerita terbagus tentangmu," katanya sambil tertawa terbahak-bahak dan mengelus kucing bernama Momo.
Laki-laki itu, seharusnya dia tidak usah menceritakan hal tidak penting pada Saras. Aku terduduk di atas tempat tidur dan tertawa, "Aku bukan monster."
Saras mengangkat rokku, spontan aku menjerit karena terkejut. "Ini luka jahit. Benar-benar hebat."
Aku mengurut-urut kening, dari mana dia bisa berasumsi kalau ini hebat. Bekas luka ini adalah salah satu klimaks kejadian terburuk dalam hidupku dan menjadi awal aku dan Mama memulai hidup yang baru.
"Rokku, tolong lepaskan tanganmu,"
"Wah, kita akan telat!" Saras melihat jam di tangannya.
Saras pindah sekolah. Sampai selesai SMP dia akan tinggal bersama kami. Sekolah Saras berbeda arah denganku. Dia akan berangkat bersama dengan Ayah. Aku tetap memilih dengan bus, meski pun Ayah sebenarnya sering kali bertanya apakah mau pergi bersamanya.
"Yo!" Bagas menyapaku saat aku baru masuk ke dalam bus. Kami bertemu, sama-sama tidak mendapatkan tempat duduk.
"Tugas sejarah sudah kamu selesaikan?"
"Iya,"
"Wah, lombanya tinggal dua minggu. Aku tidak sabar,"
"Hmm."
Bus berhenti ke halte berikutnya, beberapa anak sekolah yang berdiri bersama kami turun.
"Eh? Ada apa, Gas?" Aku terkejut saat Bagas menarikku mendekat ke arahnya. Aku meletakkan tanganku di dada. Jantungku terasa berdetak dengan cepat.
"Kamu menghalangi jalan."
Aku menoleh. Memang benar, aku berdiri sedikit di dekat pintu.
"Adikmu tinggal di sini?"
"Huh?" Saat aku menoleh, wajahku berada di dada Bagas. Jarak kami sangat dekat. Rasanya dadaku menjadi sesak dan semakin sesak.
"Kamu tidak dengar? Saras tinggal bersamamu?"