Pesta kecil-kecilan sesuai dengan rencana Ilan dan Ning pun di adakan. Kafe di plaza dengan nuansa nyaman. Dindingnya dilapisi kayu yang divarnis, temaram lampu yang kekuningan menerpa ruangan. Kursi sofa berwarna coklat menjadi tempat bagi kami menyandarkan punggung.
"Pancake blueberry!" Aku menunjuk menu yang baru saja diantarkan oleh seorang pelayan perempuan dengan rambut dicepol.
Aku mengenakan baju kaus yang pas di badan berwarna krem dengan paduan jelana jeans coklat. Rambutku sudah bertambah panjang tanpa terasa, walau pun demikian karena kebiasaan aku menggunakan plester sampai sekarang. aku mengenakan jepitan rambut yang tersemat di atas daun telinga.
Teman-teman yang lain memesan juga. Tapi, mataku sejak tadi mencari-cari Bagas yang belum kunjung datang. Aku menengok jam tangan yang melingkar, sudah terlambat tiga puluh menit. Sampai pesanan kami dihidangkan di atas meja, wajahnya tidak terlihat.
Noe sejak tadi menghubungi namun tampaknya teleponnya tidak di angkat. Setelah beberapa kali mencoba, Noe menyerah. "Mungkin di jalan makanya tidak bisa angkat telepon. Kita mulai saja," katanya kemudian mengangkat gelas mengajak kami yang lainnya untuk menjulangkan gelas sambil bersorak.
Acara ini diselingi dengan tukar kado, setiap dari kami menyediakan lima kado untuk masing-masing orang. Kado untuk Bagas dibiarkan terkumpul di samping Noe. Aku mendapatkan empat kado dengan bungkusan dan ukuran yang berbeda-beda.
"Teman-teman," Geri mulai berbicara, tangannya memegang gelas. "Maaf kalau selama dua tahun terakhir, aku kadang mengacuhkan kalian saat kalian berbicara. Maaf kalau selama ini aku merepotkan kalian."
"Aku juga!" Ning langsung memotong. "Maaf kalau aku suka mencampuri urusan kalian," kali ini dia menatapku. "Maaf kalau aku cerewet dan berisik. Maaf!"
Noe mengusap kepalanya. "Baiklah. Aku juga. Selama ini aku tidak tahu, siapa tahu aku punya salah yang tidak disengaja."
"Aku juga teman-teman. Maaf." Ilan menyahut kemudian.
Aku meletakkan gelas. Bagas belum juga datang.
"Aku juga. Maafkan kalau selama ini aku banyak merepotkan kalian, teman-teman. Dan juga, aku ingin pa―,"
"Itu Bagas!" Ning berseru kemudian melambaikan tangan.
Mendengar namanya disebut, senyumku terkembang. Namun, saat melihat wajah Bagas pucat dan terlihat letih, aku merasa sedih. Dia memasang senyum pada kami semua. Aku menyodorkan minumanku yang belum tersentuh.
"Aku tidak bisa lama-lama," katanya setelah meneguk minuman.
"Eh? Kenapa?" Ning terlihat kecewa.
Bagas hanya menjawab dengan senyuman. Benar katanya, dia hanya bertahan duduk selama sepuluh menit kemudian pamit pada kami semua. Saat Bagas benar-benar pergi, aku mengatakan hendak ke toilet. Sebuah alasan yang keluar dari mulutku untuk sekedar mengejar Bagas.
Beruntung, aku masih melihatnya, aku segera menuruni eskalator yang berjalan. Saat jarak kami sudah dekat, aku lengsung menarik lengannya. Dia terhenti dan menoleh.
Aku harus mengatakannya.
"Ada apa?"
Tuhan, bagaimana ini. Aku tidak bisa menatapnya. Tanganku bergetar. Jantungku tidak karuan rasanya.
"Mona, ka―"
"Bagas. Aku, sebenarnya, aku," kalimatku sangat kacau. Aku benar-benar tidak bisa mengendalikan diriku saat ini. Apa bedanya dengan waktu aku memberikannya hadiah? Apa bedanya dengan saling mengejek yang keluar begitu saja setiap kalimat-kalimat dari mulutku? Aku memejamkan mata, tanganku mencengkeram ujung bajunya. Kutarik napas dalam-dalam. "Aku suka kamu!"
Akhirnya..., aku bisa mengatakannya. Perlahan, aku melepaskan ujung bajunya.
"Mona,"
Jantungku berdetak begitu cepat. Apa jawabanmu setelah aku mengatakan perasaanku?
"Maaf,"
Seperti yang kuduga. Maaf, bukankah itu sebuah kata awalan untuk penolakan? Aku seharusnya tidak sedih. Bukankah, saat kita melakukan sesuatu, kita harus menerima apa yang terjadi.
"Aku harus pergi sekarang, Riana," benar, Bagas sudah punya Riana? Aku terlalu egois mengikuti emosi dan perasaanku. "Riana menungguku,"
"Ini, kado untukmu," Aku menunduk, mengulurkan benda kecil itu padanya.
"Terima kasih Mona," suara Bagas terdengar begitu pelan.
"Kamu akan pergi seperti itu? Hari ini cuaca cukup dingin," aku mengeluarkan jaket yang pernah dia kenakan padaku. Aku mendekat padanya, sedikit berjinjit dan melingkarkan jaket itu di punggungnya.
"Sekarang kamu bisa pergi. Riana menunggumu," kudorong punggung Bagas kemudian aku sendiri melangkah menjauhinya. Dari bayangan pada kaca dalam gedung aku melihat Bagas yang akhirnya membalikkan badan dan jarak kami pun semakin menjauh.
Apa laki-laki itu tidak tahu? Jepitan yang kugunakan adalah pemberiannya ketika hari perpisahan itu. Pemberian yang kutemukan dalam sebuah kotak kecil di tepi jalanan. Aku ingin benda ini sebagai bukti bahwa aku tidak pernah mengingkari janji hari itu padanya. Tampaknya, aku memang tidak penting untuknya, sampai dia tidak melupakan pemberiannya sendiri padaku.
Aku tahu, alasan Riana ingin bersama Bagas karena lelaki itu akan menemaninya sampai Riana benar-benar sembuh dan mau melakukan operasi. Riana butuh seseorang yang menerima kondisi lemah dan sakit-sakitannya. Dan Bagaslah orangnya.
Tanpa sadar, air mata jatuh di pipiku.
Aku tidak bisa menunggu perasaanku terbalaskan lebih lama lagi. Sebelum, luka itu semakin dalam aku harus segera mengobatinya dengan caraku sendiri.
––––0––––
Semua koper yang berisi beberapa pakaian dan barang-barangku sudah berjejer rapi di bagasi belakang. Kak Ayu tidak bisa mengantarkanku ke bandara, dia sempat menangis pagi-pagi saat aku selesai berkemas.
"Aku akan merindukanmu," katanya saat memelukku.
"Momo, sini!" Momo langsung melenggang ke arahku, kugendong kucing berbulu lebat itu. "Aku pasti merindukanmu, "
Saras ngotot ingin mengantar meski pun sejak kemarin dia demam karena keasyikan berenang. Ayah tentu saja tidak mengizinkannya. Alhasil, pagi-pagi Saras merajuk terus dengan suhu tubuh yang menghangat.
Semalam, aku singgah pamit juga pada pemilik swalayan. Dia dengan perut buncitnya memberikanku banyak snack sebagai bekal untukku.
Sebelum masuk mobil, kutitipkan sebuah surat pada Saras.
"Berikan pada teman-temanku."
"Kak Mona harus membalasnya kebaikanku untuk mengantar surat ini ketika pulang," jawabanya ketus.
Aku tertawa lantas mengusap kepalanya.
––––0––––
Untuk sahabatku.
Aku pamit ya. Maaf tidak sempat mengatakannya kemarin karena aku tidak cukup punya keberanian melihat kalian berpesta, rasanya tidak tega mengacaukannya dengan berita kepergianku.
Kalau kalian merindukanku kirim email saja.
Sekali lagi, maafkan aku.
Aku mencintai kalian, terima kasih telah menjadi sahabat yang luar biasa untukku.
Aku hendak mematikan ponsel saat panggilan pesawat tujuanku terdengar. Beberapa pesan dari Saras membuatku tertawa. Dia begitu cerewet, mengingatkanku untuk menjaga penampilan. Saat aku hendak menekan tombol off sebuah pesan masuk.
Dari Bagas. Pesan singkat yang membuatku tersenyum. Kuanggap sebagai pujian sekaligus salam perpisahan. Kamu cantik dengan jepitan itu, Momo.