Pelajaran olahraga dimulai. Aku sudah berganti pakaian. Kami berkumpul di lapangan untuk melakukan gerakan pemanasan. Ning terlihat dari kaca jendela. Hari ini dia tidak mengikuti olahraga karena lupa membawa seragam ganti.
Ketua kelas sebagai pemandu gerakan, saat gerakan meluruskan tangan ke kanan, aku melihat Ning tersenyum padaku. Senyuman dan matanya terlihat aneh, kemudian tangan Ning terangkat dengan sebuah buku di tangannya.
Buku itu, aku kehilangan konsetrasi. Ning seolah memberi kode menungguku di kelas sekarang. tanganku gemetar dan punggungku terasa dingin. Rahasia yang kusimpan dari teman-temanku, Ning, apakah dia sudah membaca isi tulisanku? Aku menoleh pada Ilan.
"Kamu sakit?" Ilan bertanya, aku seolah mendapatkan ide dengan pertanyaan Ilan. Segera kupegang perutku, aku mengatakan pada guru olahraga jika aku terkena maag. Bagas menimpali kalau aku tidak mungkin maag, karena dia melihatku memakan roti selama di bus.
Guru olahraga tampaknya percaya. Wajahku mendadak pucat karena ketakutan yang kurasakan. Segera aku berlari ke koridor saat keberadaanku menjauh dari jangkauan pandangan guru olahraga.
Aku mencapai kelas dengan napas yang tersengal-sengal. Ning duduk di bangkuku. Dia melipat kakinya, meletakkan kaki kanan di atas kaki kiri. Tatapannya tajam dengan senyum penuh misteri.
"Apa kamu sedang bermain detektif, Ning?"
"Aku sedang bermain polisi-polisian, Mona,"
Aku melangkah mendekat. Ning menyuruhku duduk di bangku yang berada di depannya.
"Jadi, apakah aku yang harus bertanya dulu. Atau, kamu mau menjelaskan sendiri?"
"Tentang?"
Ning memelintir ujung rambutnya. "Oh, jadi itu pilihannya."
Aku menelan ludah. Perempuan di hadapanku ini betul-betul nenek lampir. Wajah Ning yang menatapku tajam berubah. Dia terlihat sedih. Kami diam satu sama lain.
Pluit terdengar dari lapangan.
"Mona. Aku tahu perasaanmu pasti sulit,"
"Hmm,"
"Jadi, orang yang kamu maksud selama ini...," Ning tertahan sejenak. Dia mengangkat wajahnya yang tertunduk. "Bagas, bukan?"
"Hmm,"
Ning mendesah pelan. "Ilan, apakah tahu?"
Aku menggelengkan kepala, "Kamu orang pertama yang tahu."
"Aku tidak punya hak untuk melarang kamu untuk menyukainya. Itu pilihanmu. Aku bahkan tidak bisa memilih salah satu di antara kalian yang harus kudukung untuk tetap menyukainya."
"Kamu benar," kataku pelan. "Aku berusaha untuk melupakan perasaan yang ada ini. Aku mencoba menghapus sedikit demi sedikit,"
Ning berdiri dan menghentakkan kedua telapak tangannya di meja. "Kamu pikir bisa seperti itu. Dengan mudah kamu mengatakan bisa melupakan perasaanmu sendiri." Ning mengambil pensil dan penghapus yang ada di dalam di laciku. Dia membuka salah satu halaman kosong di buku hitamku. "Bagaimana perasaanmu sama dia? Dalam atau tidak?"
"Aku tidak tahu,"
Ning menulis nama Bagas dengan menekan pensil itu. "Sekarang kamu ingin menghapusnya, kan?" Ning menghapus tulisan itu. "Lihat, meski pun aku hapus tetap ada bekasnya, bukan?" suara Ning tertekan.
"Aku akan berusaha supaya tidak berbekas sama sekali," wajahku memerah menahan emosi.
"Kamu mau menghapusnya? Kamu ingin berusaha agar perasaanmu tidak berbekas sama sekali? Baiklah, bagaimana dengan ini!" Ning menghapus tulisan itu dan menekan penghapus karet.