Hari seleksi pun tiba. Aku hampir terlambat ke sekolah karena bangun kesiangan. Semalam aku belajar, jam alarm tidak mempan membangunkanku. Tahu-tahu. Kak Ayu yang membangunkanku, dan karena Kak Ayu, aku harus kerepotan pagi-pagi mengurus rambut. Kak Ayu berhasil mengepang rambutku selama aku tertidur saat berusaha membangunkanku. Aku hanya menyisir rambut dengan tangan dan bergegas menuju halte bus.
Kesialan ternyata tidak berhenti pada saat Kak Ayu mengepang rambutku, aku harus berdesak-desakan dengan penumpang lainnya yang berjubel masuk ke dalam bus. Butuh waktu setengah jam akhirnya aku sampai di sekolah. Aku berlari sembari menengok jam tangan. Berlari dan tidak henti menatap jam tangan. Sial, lima menit lagi seleksinya akan dilaksanakan.
Ponselku berdering, saat kuangkat di seberang sana suara Ning marah-marah karena semua siswa sudah berkumpul di aula untuk seleksi dan aku belum tiba juga. Ilan terdengar lebih lembut menanyakan aku berada dimana. Namun, Ning tidak mau kalah saling berbicara lewat ponsel. Dia mencak-mencak menyuruhku segera datang. Aku mematikan ponsel saat Ning akhirnya menyerah karena kehabisan suara berteriak-teriak.
Lima menit lagi, aku mengutuk halte yang berada jauh dari sekolahku. Jadinya aku harus menempuh sekitar sekitar sepuluh menit untuk berjalan kaki. Aku mengutuk Ning yang cerewet memarahiku di telepon. Aku mengutuk rambutku yang acak-acakan sekarang. aku mengutuk...
"Adidididi... sakit!" Aku berhenti berlari saat menabrak seseorang dan membuatku terjatuh, saat aku hendak berdiri, aku menjerit kesakitan. Kepalaku, tidak, lebih tepatnya rambutku tersangkut. Aku mendongakkan kepala, rambutku tersangku di kancing baju seseorang.
"Kamu! Jalan tidak lihat-lihat!" Dia membentakku. Suara lelaki kasar.
Aku memiringkan kepala dan menggenggam rambutku pada bagian pangkalnya agar tidak terasa sakit. "Aduh!" Aku mengeluh kesakitan, laki-laki ini tiba-tiba saja berdiri sehingga rambutku yang tersangkut mau tidak mau tertarik ke atas.
"Perempuan urakan. Rambut kamu kayak sapu ijuk!" Dia mengejekku.
"Kamu! Dasar laki-laki!" Aku balas membentak, walaupun leherku terasa pegal karena posisi miring ini, setidaknya aku masih punya kekuatan untuk membalas ejekkannya.
Dia menarik kepalaku sehingga aku menjerit kesakitan. "Berisik!" geramnya. "Tahan sebentar, aku buka rambutmu!"
Pelan-pelan dia membuka rambutku yang tersangkut itu. Aku merintih kesakitan, aku ingat Kak Ayu. "Tunggu pembalasanku, Kak Ayu!" Aku mendesis, sembari kedua tanganku menyangga leher yang sakit.
"Oh, kamu punya tanda lahir tepat di tengkuk,"
Mendengarkan hal itu, aku segera menutup tengkukku. "Cepat buka rambutku dari kancing bajumu. Itu lebih baik dari pada kamu melihat leher perempuan! Oh ya, aku punya gunting di tas. Kamu bisa gunakan untuk memotong benang kancingmu,"
"Oke. Mana guntingnya? Akan kupakai untuk memangkas rambutmu yang seperti ijuk bunga anggrek,"
"Hah? Awas saja kalau kamu berani menggunting rambutku. Cepat lepaskan kancing bajumu."
"Sudah selesai dari semenit yang lalu."
Aku bangkit meluruskan leher yang pegal. "Apa???" Kemudian aku menatap sinis ke arahnya dan mendorong bahunya. "Aku akan pergi. Sial, aku terlambat!" Aku terperangah melihat jam.
"Lebih baik kamu perbaiki dulu rambutmu. Jangan sampai ada orang lain yang kamu susahkan lagi karena rambutmu yang kusut itu!"
"Berisik!" kataku sambil berlari dan menutup kedua telinga.
––––0––––
Aku dan Gagas main ular tangga di bawah pohon belakang sekolah. Kata Gagas papan ular tangga ini baru saja dibelikan ibunya. Aku sedikit tersentuh ketika dia membawakan permainan yang masih terbungkus itu, aku adalah orang pertama yang bermain dengannya. Gagas selalu ke kelasku setiap jam istirahat dan pulang sekolah. Faktanya, aku dan Gagas berbeda kelas. Hanya pada saat belajar selesai kami bertemu.