Benar saja dugaan Aina setelah membuka pintu dan melewati ruang keluarga dan memasuki meja makan, pemandangan seperti itu yang selalu disuguhkan oleh keluarganya. Keluarganya sedang bersenda gurau tanpa Aina. dan setelah Aina hadir, tawa mereka perlahan memudar digantikan dengan wajah datar dan dingin.
"Assalamualaikum. Aina pulang hehe." Sapa Aina seceria mungkin, walaupun hatinya tidak.
"Waalaikumsalam." Jawab mereka datar Aina langsung duduk dikursinya dan mengambil udang goreng kesukaan dia.Saat ia ingin mengambil, tangannya dipukul oleh Katyy, ibu Aina. "Apa-apaan si kamu, gak sopan banget." Ujar Katty dengan sinis.
"Hehehe iya maaf ya ma. Habis Aina laper, terus liat udang kesukaan Aina hihihi." Ucap Aina dengan santai dan ceria.
"Itu liat tangan kamu kotor, banyak kumannya. Jorok banget jadi perempuan. Contoh dong kakak kamu, selalu bersikap anggun." Ujar Fahmi papa nya. Aina yang mendapat omelan hanya bisa menunduk dan mengucapkan kata maaf berulang kali. Namun kata maaf Aina tak dihiraukan, malah Fahmi semakin memarahi Aina.
"Kamu itu kalo lagi dibilangin cuma bisa maaf maaf aja, tapi besoknya diulangin lagi diulangin lagi!!" Ucap Fahmi dengan nada naik satu oktaf." Wajah Aina tertunduk sambil menahan cairan bening yang meronta ingin keluar. Aina tidak bisa menjawab apa-apa. Dia hanya terdiam tertunduk. Sampai akhirnya gebrakan meja membuat tubuh Aina terlonjak dan mendongakan kepala.
Brakk "Kamu dengerin gak sih kita ngomong?" Suara Fahmi terdengar sangat emosi. Brakk Aina menggebrak kembali meja makan itu. "Cukup ya pah, cukup papah bentak-bentak aku. Aku tau aku salah . Tapi papah bisa ngomong baik-baik sama aku. Aku cape selalu diperlakukan seperti ini. Kesalahan kecil selalu diperbesar dengan membentak aku." Entah keberanian dari mana Aina dapat berucap dengan lancar didepan Fahmi. Mengingat setelah sekian tahun Aina hanya tertunduk jika sedang diperlakukan seperti itu. Karena ia tak ingin di cap sebagai anak durhaka. Emyr yang melihat kejadian itu langsung berdiri dari tempat duduknya dan menampar Aina. Aina kaget dan memegangi pipinya yang terasa sakit dan panas. Tapi tidak sesakit dan sepanas hatinya saat ini. Tak terasa cairan bening yang sedari tadi ditahannya akhirnya turun juga.
"Lo bisa gak sih sopan sama orang tua. MEREKA ITU ORANG TUA KITA!" Bentak Emyr pada Aina.
"Udah-udah cukup, apa-apaan si nih? Selalu aja ribut kaya gini. Cape tau gak!" Ujar Ka Aini seraya berdiri dari tempat duduknya dan menenangkan Emyr.
Selera makan Aina langsung menguap begitu saja. Aina geram dengan suasana yang selalu sama setiap harinya. Rumah ini bagaikan di neraka. Tanpa basa-basi Aina langsung pergi menginggalkan meja makan. Dengan langkah cepat Aina menaiki tangga menuju kamarnya yang berada di lantai 2 sambil memegangi pipinya yang masih terasa sangat panas dan perih.
Tubuh Aina berbalik sebelum sampai diujung tangga."Oh iya, Aina 2 minggu lagi ada pementasan di Sekolah, untuk mewakili Jakarta dalam Festival Tari Tradisional." Ujarnya dengan datar.
"Oh ya tapi saya yakin kalian tidak berminat mendengar berita ini. Dan saya sudah tidak berharap salah satu dari kalian datang ke pementasan." Lanjutnya sebelum meninggalkan orang-orang yang sedang memperhatikannya dengan tatapan yang sulit diartikan Aina memasuki kamar.
Dia membanting pintu kamarnya, dan tak lupa langsung mengunci pintu dari dalam. Aina membanting tubuhnya kekasur . Tubuhnya bergetar. Isakan tangisnya tak dapat tertahan lagi. Ait mata itu terus mengalir di pipi cubbynya, yang terasa sangat perih dan panas. Hatinya tak bisa di bohongi jika dia begitu rapuh, tidak setegar yang terlihat. tak ada lagi tempat untuk mencurahkan segala kerisauan Aina, tidak setelah Oma dan Opa Aina tiada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Biarkan Aku Pergi
Teen FictionGadis bernama Aina Zahra Wiratama yang biasa di panggil dengan sebutan Ai. Gadis yang kuat untuk menjalankan hidup walaupun harus berjuang sendirian tanpa di dampingi keluarga. Papa dan mama yg sibuk bergelut didunia bisnis serta kedua kakaknya yg...