Sakura, gadis berusia delapan belas tahun itu, menggigil di bawah mantel tebalnya yang sudah mulai menempel pada tubuhnya. Dengan hati-hati, ia merapatkan mantelnya, berusaha melawan rasa dingin yang semakin menyengat. Langit malam yang gelap dipenuhi oleh salju yang turun perlahan, menutupi jalanan dengan lapisan putih yang dingin dan membekukan.
"Astaga, kenapa dingin sekali?" suaranya bergetar, menandakan betapa hebatnya rasa dingin yang menyelimutinya. Tangannya meremas-remas satu sama lain, berusaha menghangatkannya sementara embun beku mulai membentuk kristal di tepi-telinganya.
Kresek-kresek salju yang terinjak di bawah kakinya memecah keheningan malam. Sakura berhenti sejenak, matanya menatap penuh curiga ke arah semak-semak yang bergerak samar di kejauhan. Suara itu, sekilas saja, sudah cukup untuk membuat bulu kuduknya berdiri. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya.
"Oke, itu bukan apa-apa. Bukan apa-apa," gumamnya dengan bergetar, berusaha mengabaikan pikiran menyeramkan yang mulai menghantuinya. Langkahnya terasa semakin berat, namun ia terus melangkah maju dengan rasa takut yang menyelinap di dalam dirinya.
Tiba-tiba, suara tangis bayi yang lembut dan menekan menyentak perhatian Sakura. Ia berbalik dan menoleh, mencari sumber suara yang semakin lama semakin jelas. Tangisan bayi itu semakin keras, seakan-akan memanggilnya dari kegelapan malam yang dingin.
"Tak ada hantu bayi, kan?" gumamnya ketakutan, suaranya bergetar ketika ia mendekati semak-semak tempat suara itu berasal. Dengan hati-hati, ia menyingkap salju dan dedaunan yang menutupi bayi kecil itu.
Di tengah salju yang tebal, Sakura menemukan bayi laki-laki dengan rambut hitam pekat dan kulit yang hampir tertutup sepenuhnya oleh salju. Bayi itu menangis dengan suara lemah, tubuhnya menggigil kedinginan. Melihat pemandangan itu, hati Sakura tersentuh mendalam.
"Astaga!" Sakura tersentak, segera menggerakkan salju dari tubuh bayi dengan lembut namun cepat. Ia dengan hati-hati menggendong bayi itu, merasakan betapa kecil dan rapuhnya makhluk mungil itu dalam pelukannya. Matanya dipenuhi kekhawatiran dan kasih sayang.
"Apa kau dibuang oleh ibumu?" tanyanya lembut sambil mengusap kening bayi yang mungkin baru lahir itu. "Kau pasti kedinginan."
Tanpa berpikir panjang, Sakura melepas mantelnya dan membungkus bayi itu dengan hangat. Rasa dingin yang sebelumnya mengganggu kini terasa hampir tidak ada dibandingkan dengan rasa empati dan kepedulian yang mengisi hatinya. "Ini dingin sekali, tapi kau lebih membutuhkannya daripada aku. Kau pasti sudah lama berada di sini."
Ia mempererat pelukannya, merasakan kehangatan tubuh bayi yang mulai tenang di dalam dekapan. "Kau sangat manis. Ibu mana yang tega membuang bayi semanis kau?" Sakura tersenyum lembut saat bayi itu mulai terlelap, perlahan-lahan melupakan dingin malam yang membekukan.
Dengan bayi yang nyaman di dalam pelukannya, Sakura menuju kantor polisi. Jalanan yang gelap dan sepi semakin terasa mengancam, tetapi kehadiran bayi kecil itu memberikan secercah harapan dalam suasana yang menakutkan. Setibanya di kantor polisi, Sakura disambut oleh kerumunan warga yang berkerumun, suasana yang ramai dan bergejolak menambah kecemasannya.
"Pak, ada apa di sini?" tanyanya pada seorang polisi yang berdiri di dekat pintu, matanya tidak lepas dari bayi yang tertidur di gendongannya.
"Seorang pelaku pencurian hampir tewas dihajar warga," jawab polisi tersebut dengan nada yang datar. "Ada banyak orang di sini yang menunggu."
"Apakah prosesnya akan lama, Pak? Saya ingin membuat laporan tentang bayi ini," Sakura bertanya dengan penuh harap, sementara polisi itu memandang bayi dengan penuh perhatian.
"Prosesnya mungkin memakan waktu dua atau tiga hari," jawab polisi, membuat Sakura merasa tertekan. Wajah bayi yang damai di pelukannya semakin membuat hatinya berat.
Sakura menatap wajah damai bayi itu, hati kecilnya merasa tidak rela untuk berpisah. "Tidak jadi, Pak. Permisi," ucapnya buru-buru, meninggalkan kantor polisi tanpa menunggu lebih lama lagi.
Langkahnya semakin cepat, merasakan dingin yang semakin menusuk hingga ke tulang. Akhirnya, ia berhasil membuka pintu rumahnya dengan lemas, dan adiknya, Gaara, segera membantunya duduk di sofa dengan penuh kekhawatiran.
"Astaga, apa yang kau lakukan? Kau gila?!" seru Gaara, matanya membulat saat melihat bayi yang terbungkus mantel dalam gendongan kakaknya.
"Kakak ini bayi siapa?" tanya Gaara, kebingungan, saat melihat Sakura menggigil dan terlihat sangat lelah.
"Bisakah kau ambilkan aku air sebelum bertanya, Gaara? Aku rasanya mau mati kedinginan," jawab Sakura, suara menggigil saat ia mencoba menenangkan diri. Gaara segera mengambil secangkir cokelat panas dari meja makan dan memberikannya pada Sakura, sambil menatap adiknya dengan penuh prihatin.
Sakura duduk dekat perapian, merasakan tubuhnya mulai hangat perlahan. Bayi kecil itu tidur nyenyak di sofa, terlindung dalam pelukan hangat mantelnya. Gaara duduk di dekat bayi, menyentuh mantel dengan rasa kagum. "Jadi, kakak kedinginan karena memberikan mantel ini pada bayi? Kau memang baik sekali."
Sakura tersenyum lembut melihat bayi yang tenang. "Apa kau ingin memberi nama bayi ini?" tanyanya dengan lembut.
"Bagaimana kalau Sakka?" usul Sakura dengan penuh harapan.
"Sakka? Itu terdengar aneh," kata Gaara, mengangkat alis. "Tapi jika itu nama yang ada di kepalamu..."
"Karena itu satu-satunya nama yang ada di pikiranku," jawab Sakura, membuat Gaara tertawa kecil.
"Baiklah, Haruno Sakka tidak terdengar buruk," kata Gaara, senyumnya mengembang. "Selamat datang di keluarga Haruno. Aku akan menjadi ibumu, anak manis," ucap Sakura sambil mengusap pipi bayi yang masih terlelap dalam pelukan hangatnya.
"Aku akan jadi pamannya," kata Gaara dengan senyum tipis, merasa bangga dan bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Love
FanfictionSebuah pertemuan tidak disengaja Sakura dengan bayi yang dibuang oleh orang tuanya didekat jalanan rumahnya ternyata membawa Sakura pada takdir dan cinta terakhirnya.