Janji bukan pengikat

30 3 1
                                    

Hujan turun dengan deras.

Menghantam atap indekos yang terbuat dari genteng sederhana yang mulai lapuk, airnya merembes pada tembok hijau usang lalu bergabung bersama bekas-bekas air hujan semalam disana yang mulai menguning tak dipedulikan.

Indah duduk pada teras indekos kecil itu, memeluk lututnya dan menumpukan wajahnya disana, menatap air yang mengalir deras menuju parit halaman melongsorkan sedikit demi sedikit tanah taman yang baru saja mereka renovasi kemarin. Ini tidak biasanya, dulu saat hujan turun dengan deras maka ia akan memilih menarik selimut dan meringkuk sepanjang hari dikamar kecilnya, telinganya akan tersumpal earpod dengan musik bervolume penuh dari smartphonenya. Beradu dengan suara hujan yang berusaha meredam suara disekitarnya.

Tapi kali ini berbeda, ia memilih duduk diteras, dekat dengan air hujan. Memperhatikan tiap detail suasananya dan ikut terhanyut dengan suara aduan hujan dan genteng yang saling bekerja sama.

Semuanya terasa menenangkan, mungkin benar bahwa saat kau bersedih maka kau akan memikirkan semua hal dengan cara yang berbeda.

Seakan sang alam merayunya untuk tetap pada keadaan yang melo seperti ini.

"ndah!"

Seseorang menepuk bahunya, menariknya dari lamunan panjang. Ketika berbalik ia sudah menemukan hesti yang tinggal tepat disebelah kamarnya membawa sebuah kursi plastik usang berwarna pink dan duduk disana sejajar dengan indah.

"Udah hubungin indra?" gadis berambut iklan shampoo itu menutup telinga kirinya dan berbicara dengan setengah berteriak meski begitu tetap saja suaranya kalah dengan suara alam.

Indah kembali mengalihkan perhatiannya pada sekumpulan air yang mengalir deras membawa tanah disekitarnya, ia menggeleng kecil dengan dagu yang terbenam diantara kedua lututnya. Terlalu malas mengeluarkan suara.

"Kenapa belum sih ndah? Udah beberapa hari ini kamu ngelamun aja. Masa mau gini terus"
Suara hujan perlahan-lahan mulai mereda, memperjelas intonasi suara hesti yang masih terbawa lantang sejak tadi.

Indah bergeming, angin dingin tiba-tiba saja menyusup hingga kekulitnya yang paling dalam, ia memperbaiki cardigen rajutnya dan menghela nafas panjang setelahnya.
Sudah beberapa kali tetangga kamar sekaligus teman curhatnya ini mengatakan hal yang sama.

Menyuruhnya menghubungi indra, kekasihnya.

Tapi indah seakan tak tahu harus bagaimana memulai, hingga hesti milai bosan mengingatkan dan indah juga bosan mendengarnya.

Padahal tiga hari yang lalu indah lah yang paling menggebu- gebu untuk menghubungi pria itu, tekadnya begitu kuat tapi ia harus mencari kata untuk memulai pembicaraan dengan indra. Dan disitulah ia menemui jalan buntu. Ditengah pemikirannya yang sibuk mencari kata-kata, matanya hanya memandang kosong pada room chat nya dengan pria itu. Berbagai kemungkinan yang belum pasti terjadi memenuhi isi kepalannya hingga rasanya indah akan gila saja. Ia menemukan cara yang berakhir sebagai jalan buntu hingga memikirkan tentang indra saja terasa begitu memuakkan.

Ia tak berniat melakukan apapun tapi hatinya masih saja sesak seperti hari kemarin.

"kamu gak bakal lega kalau gak bicara sama dia ndah, setidaknya bicara, apapun hasilnya ya itu urusan nanti"
Dan kalimat terakhir hesti menggema dikepalanya.

....

Apapun yang terjadi, itu urusan nanti.

Dengan prinsip baru itu, indah meraih smartphone jadulnya, sekuat tenaga berusaha mengendalikan tangannya yang mulai gemetaran ketika mengetikkan sederet kalimat yang sudah dihapalkannya selama dua jam terakhir.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 20, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Break up projectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang