18. Perasaan?

57 5 0
                                    

Sinar matahari masuk dari lubang jendela, menyilaukan. Hangat menusuk kulit. Seorang wanita paruh baya dengan daster bermotif batik kencana wungu tengah menggoyangkan tubuh laki-laki yang tengah memejamkan mata. Selimut tebal ditarik cepat, tapi tetap saja laki-laki itu menahannya.

"Den, bangun sudah siang!" Suara Bi Irah dengan mengguncangkan tubuh Bani. Tetap saja laki-laki itu hanya mendengus.

"Den, bangun sudah jam setengah tujuh. Apa aden nggak sekolah, ih. Kumaha sih Den?"

Mata yang dari tadi tertutup terbuka cepat. Tunggu, jam setengah tujuh? Apa? Bani lompat dari kasur. Mengerjap-ngerjap kedua indra penglihatannya. Bi Irah mengelus dada.

"Jam setengah tujuh Bi? Kok nggak bangunin dari tadi. Ih..bibi gimana sih. Bani telat gimana coba?" Cerocos Bani yang membuat pembantunya menggelengkan kepala. Kebiasaan!

"Gimana atuh den, Bibi teh udah bangunin dari tadi. Den Bani nya aja yang molor, Bibi disalahain," jawab bi Irah sambil melipat selimut.

"Bibi ih, udah ah Bani mandi dulu." Bani menyambar handuk yang tergantung di sebelah kamar mandi. Baru dua langkah masuk kedalam, otak nya berpacu, seakan ada sesuatu terlupakan. Ia membalikkan badan.

"Bi, ada yang kelupaan?" Alis tebal milik Bani terangkat. Bi Irah yang sedang  membersihkan debu dari atas kasur mendongak.

"Nggak ada den." jawab Bi Irah sambil membenarkan letak kerudungnya yang melorot. Wajah tua itu terlihat lebih muda dari usianya.

Bani kembali memutar badannya 180 derajat, melangkahkan kakinya menuju kamar mandi yang terletak tepat di samping kamarnya.

Satu detik...
Dua detik....
Tiga detik....

"Bi Iraaaahhh.. Aku lupa harus jemput Matka. Aduh Biii gimana ini??"  Astaga, suara itu menggema di dalam kamar mandi. Tangan Bi Irah kembali mengelus pelan dadanya. Kaget bukan main! Mulutnya komat-kamit, mungkin beristighfar.

Kepala tersangka pembuat kaget itu muncul dari balik pintu. Wajahnya masih basah. Siapa lagi kalau bukan Bani!

"Den Bani kebiasaan ih, pake teriak segala Bibi kan orang nya kagetan. Gimana atuh den, iseng amat!" cerocos Bi Irah dengan memanyunkan bibirnya. Persis seperti para emak yang mengomeli anak laki-lakinya yang main sampai tak tahu waktu.

Bani meremas pintu yang terbuka.
"Bi, tolong telpon Matka. Itu HP Bani ada di laci, bilangin suruh berangkat duluan. Ayo Bi, nanti aja ngomelnya."

***

Gadis cantik dengan rambut yang terikat dan sweater berwarna navy terlihat gusar. Sejak beberapa menit yang lalu tak ada tanda-tanda apapun angkot lewat. Ditambah matahari yang sudah terlihat meninggi. Bagaimana kalau terlambat? Itu mungkin yang sedang ada dalam pikiran nya.

Bibir tipis miliknya sedang tak menunjukkan lengkungnya. Keringatnya mulai bercucuran, omelan demi omelan terdengar.

"Tau nggak jadi dijemput, berangkat dulu aja dari tadi. Dasar cowok aneh, pemalas, pasti telat bangun. Nggak tau apa aku nungguin dari tadi. Ihhhh... Awas kalo ketemu!!!"

Ya, seperti itulah ucapan Riska. Entah kenapa sejak tadi pagi ia begitu bersemangat untuk bertemu Bani. Berdandan selama dua puluh menit, rekor terbaru dalam kamus hidupnya. Jangan tanya kenapa? Hanya Riska yang tahu. Tapi yang pasti, semua itu sudah hilang sekarang. Bibir yang terbisa tersenyum ramah itu tak henti-henti nya mengomel. Wajah nya ditekuk. Seperti anak kecil yang merengek minta boneka tapi tidak dibelikan. Sosok yang ditunggu malah tidak datang menjemputnya. Padahal sejak semalam ia melamunkan pemilik mata yang meneduhkan itu, astaga memalukan sekali sebenarnya. Tapi itulah kenyataan logika Riska yang mulai kalah dengan perasaan nya.

Mathematic Girl and Lazy Boy [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang