21. Malaikat

47 5 5
                                    

Bugh bugh bugh

Bukan hanya satu, tapi tiga pukulan sekaligus menyapa bibir sebelah kiri, pipi kanan, dan sudut mata meneduhkan miliknya. Tangan yang menyebabkan noda darah di bibir Bani itu seketika berhenti saat ada yang menghalangi. Bani memundurkan langkah. Mencoba menahan erangan sakitnya. Mengerjapkan mata, dia tak mau sampai pingsan.

"Ayah, udah! Bani nggak salah." Satu kalimat yang menjadi obat tak terlihat untuk Bani yang kini menghapus tetesan kental berwarna merah yang mengalir disudut bibirnya.

"Kalo bukan dia, siapa lagi Riska? Ada apa sebenarnya?" Ayah memegang bahu Riska. Menatap lekat wajah ketakutan putri kesayangannya.

Wanita paruh baya berjilbab hitam dengan bak yang berisi cucian berlari mendekati mereka. "Ada apa ini? Astaghfirullah ayah pukul Bani?" tanya Ibu penuh amarah.

"Lihat anak kita, bu. Bajunya basah, wajahnya ketakutan, menangis, dan laki-laki ini yang mengejarnya. Bagaimana mungkin ayah bisa tenang-tenang saja?" Rahang ayah mengeras, Bani hanya mampu menundukkan kepalanya. Ia ingin menjelaskan, tapi kenyataannya Bani juga tak tahu apa yang terjadi pada Riska.

"Anak ibu, kenapa sayang?"tanya ibu lembut. Riska menghambur kepelukan yang mungkin akan menghangatkan. Air matanya kembali tumpah membasahi daster batik ibu.

" Ayo masuk dulu aja, Bani masuk, nak!" Bani mengangkat kepalanya. Ibu tersenyum mengangguk.

"Buat apa, bu? Mending kamu pulang sana. Berani masuk rumah, siap-siap lukamu nambah," ucap ayah menatap tajam Bani.

"Maafin saya, yah. Jujur saya nggak tau apa-apa. Riska tiba-tiba menangis dan bilang nggak mau ketemu sama saya lagi. Bajunya juga sudah basah. Saya mengikutinya dari belakang saat dia naik angkot. Kalo ayah mau pukul saya, silahkan. Tapi tolong percaya sama saya." 

Hanya itu yang bisa Bani katakan. Jika saja dengan dipukuli keadaan bisa berubah, Bani bersedia menerimanaya. Hari ini ia benar-benar merasakan sesak saat melihat air mata gadis yang membuat hidupnya lebih berwarna akhir-akhir ini. Gadis yang baru ia sadari..telah merebut hatinya.

Sebagai seorang lelaki, ayah melihat  kesungguhan pada wajah Bani. Tapi naluri seorang ayah yang tak rela melihat keadaan memprihatinkan dari putrinya melawan kesungguhan itu.

"Bani nggak salah, ayah," lirih Riska disela tangisannya. Ia tak tega melihat wajah Bani yang penuh luka. Bahkan, mata teduh yang selalu meluluhkan hatinya itu berkaca-kaca. Persis saat Bani menceritakan betapa ia merindukan orang tuanya.

Ibu mengarahkan pandangannya pada ayah. Saling berbicara tanpa suara. "Maafkan ayah, Ban. Ayah udah..,"

"Saya mengerti kok, yah. Saya yang harusnya minta maaf, karena nggak bisa jagain Riska," potong Bani sambil tersenyum penuh arti. Ia meraih tangan berkeriput milik ayah lalu menciumnya lama. Tubuhnya bergetar kali ini, kelebatan sosok papanya muncul dalam pikiran Bani.

Bani terperanjat ketika tubuh tua ayah memeluknya. Ingin sekali rasanya menangis, tapi ia harus menahannya. Bani yakin, Riska sedang butuh dikuatkan, dan dia tidak boleh lemah.

"Ayo masuk, biar ibu obati lukamu, Ban." Bani merasa Tuhan sedang memberikan kebahagiaan tak ternilai saat ini. Keberuntungan luar biasa untuknya bisa mengenal keluarga sederhana ini.

"Nggak usah, bu, saya pulang saja. Biar Riska tenang dulu."

"Lho Ban? Ayah nggak ngusir lagi, nak."

Bani melengkungkan bibirnya yang sakit. "Kalo boleh nanti malam saya kesini lagi buat ngajarin main gitar Ayah. Boleh?"

Ayah mengerutkan keningnya, ia tahu mungkin Bani sedang butuh waktu menenangkan pikirannya.

Mathematic Girl and Lazy Boy [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang