Hap
Pelukan yang sangat nyaman kembali Bani rasakan. Ia bahkan bisa merasakan aroma parfum yang mirip buah apel dari tubuh didepannya. Tangan kanannya juga reflek mengelus pelan rambut panjang sang gadis yang tadi bersorak bahagia setelah melihat lembaran yang diberikan Bani. Lembaran yang mati-matian ia isi dengan susah payah. Menghabiskan banyak jatah waktu bermain gitar dan rebahannya.
Hari ini, dengan perasaan setengah takut ia menunjukkan berderet-deret jawaban dari hasil pemikiran kerasnya. Bahkan, tulisannya mungkin sudah tak berbentuk. Tapi lihat lah sekarang, senyum gadis perebut kemalasannya ini begitu merekah. Kedua bola matanya juga berbinar. Dan yaa..sekarang Riska memeluknya.
"Aku bangga sama kamu, Ban," seru Riska girang. Ia menatap intens wajah lebam yang baru saja ia obati beberapa menit yang lalu. Beberapa bagian tampak mengenaskan. Pipi kanannya membengkak dan berwarna biru keunguan. Pasti karena dorongan Rian yang membuat Bani terpental ke tembok. Seluruh tubuhnya meremang melihat Bani yang mencoba terlihat baik-baik saja, padahal badan tegapnya sempat sempoyongan.
Tes
Sebuah embun kecil mengalir pelan dari sudut mata yang sangat Riska rindukan. Gadis itu sontak membulatkan matanya.
Bani menangis?
"Kenapa? Aku salah ngomong ya?" tanya Riska khawatir. Dengan sedikit keraguan ia menghapus jejak air mata dipipi Bani. Pelan sekali. Baru kali ini seumur hidupnya ia melihat laki-laki menangis selain sang ayah. Ada rasa sesak saat menyadari Bani menahan tangannya.
"Nanti berdarah lagi lukanya, jangan nangis." Kali ini Bani menghirup udara sebanyak mungkin. Kenapa ia jadi lemah?
"Maaf,"
"Kenapa?"
"Apanya?"
"Kenapa nangis?"
"Nggak apa-apa."
"Bohong."
"Nggak."
"Cerita cowok aneh."
"Ish kok cowok aneh sih? Dasar cewek nyebelin." Bani memajukan bibirnya. Pura-pura merajuk. Riska terkekeh geli melihat Bani yang menyedekapkan kedua tangannya didepan dada. Usahanya menghibur Bani cukup berhasil.
"Dih, cowok aneh ngambek. Makin jelek deh tuh muka. Hahaha." Setelah menghentikan tawanya, gadis yang masih memakai seragam putih abu-abu itu menyenggol bahu Bani. Kali ini ia mengikuti ekor mata Bani yang melihat keadaan sekeliling mereka. Kursi taman yang dipenuhi beberapa keluarga yang sedang menghabiskan waktu bersama. Nah, itu dia! Mungkin Bani sedang mengingat keluarga kecilnya.
"Makasih ya, Ka," ucap Bani memecah keheningan. Riska menoleh, ditemukannya senyum tipis Bani.
"Buat?"
"Semuanya, makasih udah jadi perempuan kedua yang bilang bangga sama aku selain Bi Irah."
Riska mengernyitkan keningnya. Ia sudah yakin sekarang kemana arah pemikiran Bani. Riska menggeser tempat duduknya. Menyisakan sedikit lebih banyak jarak diantara mereka berdua.
Dibalasnya tatapan Bani yang seakan sedang memendam kesedihan."Aku mau jalan-jalan. Mau anterin aku?" tanya Riska dengan menampilkan deretan gigi putihnya yang rapi. Awan mendung dari wajah Bani hilang seketika terkena senyum manis itu. Ah..indah.
"Ayo!" seru Bani lantang membuat beberapa keluarga disekitar mereka menoleh. Lelaki itu langsung mengulurkan tangannya. Mengajak Riska berjalan kearah parkiran.
Riska mengalami kesulitan membenarkan letak helmnya. Rambutnya sedikit menganggu.
Bani yang menyadari hal itu tertawa pelan."Mau jalan-jalan kemana, Matka?" tanya Bani dengan posisi berdiri memegang helm full facenya. Riska yang sibuk membenarkan rambutnya mendengus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mathematic Girl and Lazy Boy [On Going]
Ficção AdolescenteCinta? Satu kata penuh makna. Tak tau kapan datangnya. Cinta tumbuh dari hal sederhana menjadi luar biasa. Dari tatapan menjadi ketetapan. Dari ilmu matematika bisakah menjadi cinta? Bani, murid baru di SMA Bina Bangsa. Cowok cool, ganteng, kulitnya...