Bibir ini diciptakan olehNya bukan untuk mengeluh, melainkan untuk mengaminkan doa yang kau ucapkan disepertiga malam untukku.
Ghanniyah Aazeen
Ternyata seperti ini rasanya menikah. Semuanya serba indah. Bangun tidur hal yang pertama dilihat adalah wajahnya. Pada saat malam, kini sudah ada yang bisa diajak berdiskusi sebelum rasa kantuk menyapa. Walau semuanya adalah hal baru bagiku, namun aku sungguh bahagia. Apalagi laki-laki yang kupilih menjadi imam hidup adalah sosok laki-laki yang tidak banyak bicara.
Dia selalu mengikuti apa yang kuucapkan, seperti keinginanku tinggal di rumah kedua orangtuanya setelah kami menikah.
Ya, mungkin bagi sebagian perempuan merasa tidak suka tinggal di rumah mertua. Tapi tidak denganku. Aku senang sekali tinggal di rumah yang besar ini. Selain segala fasilitas memadai, aku juga bisa mengenal keluarga baruku, yaitu ayah dan bunda.
Orangtua dari suamiku itu ternyata jauh lebih baik setelah aku menikah dengan putra mereka. Padahal kupikir aku akan membenci ayah mertuaku sepanjang hidup ini, ternyata tidak juga. Dia sosok ayah mertua yang bisa sekali dijadikan sahabat. Mungkin karena aku perempuan yang banyak bicara, ayah malah sering kali memintaku menceritakan bagaimana kegiatan mahasiswa di kampus pada jaman modern ini.
Tentu saja dengan senang hati aku jelaskan sampai mendetail. Tapi ingat tidak berlebihan ya. Bukannya dari awal, suamiku, Rafif, tidak suka segala sesuatu yang berlebihan.
Ngomong-ngomong tentang suami, sekarang aku sudah sangat terbiasa di antar jemput olehnya ke kampus. Jika biasanya aku ke kampus mengendarai motor butut milik bang Lian, atau mobil hasil resto yang bang Lian beli setahun lalu, kini aku seperti layaknya ratu. Yang turun naik mobil sport mewah milik suamiku itu.
Hahaha, mungkin akan semakin banyak yang iri tentang kondisiku ini. Tapi inilah nikmat yang tidak boleh aku sia-siakan. Karena inilah hasil dari perjuanganku menahan pedasnya kata-kata Rafif sejak setahun yang lalu. Lalu sekarang aku harus sia-siakan kebahagiaan ini? Enak saja. Yang namanya hidup harus dinikmati semuanya. Baik itu kesedihan atau kebahagiaan.
Seperti yang kulakukan kini. Baru turun dari mobil, dengan sengaja aku memeluk lengan suamiku yang kekar ini. Lengan yang sudah beberapa minggu ini menjadi selimutku ketika dingin. Dan juga lengan ini pula yang menjadi tempatku bersandar ketika lelah.
"Kamu mau ketemu bang Lian?" Tanyaku mendongak, menatap wajah suamiku yang terlihat sangat lelah.
Hihihi, jangan salahkan aku kenapa dia lelah. Dia sendiri yang memilih untuk lembur.
"Iya, ada urusan."
Singkat dan jelas. Sejelas aku memahami hatinya. Tidak perlu mengucapkan banyak alasan, karena kutahu urusan mereka berdua pasti tidak jauh-jauh tentang bisnis.
Seperti yang diamanatkan oleh ayah mertuaku, dia membebaskan putranya mau melakukan apapun, karena ayah mertuaku percaya jika Rafif pasti akan lebih sukses darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAZE
General FictionBEBERAPA PART DI UNPUBLISH KARENA SUDAH TAMAT Harapan itu akan berwujud nyata saat kata sabar berubah jadi doa yang selalu diaminkan. 15 Tahun bukan waktu yang mudah. Tapi dalam 15 tahun itu kita belajar bila apa yang diinginkan tidak selamanya lan...