Tahun Keenam . 2

2.9K 866 77
                                    

Mencintaimu seperti aku mencintai Tuhan. Tidak tahu bentuknya seperti apa, namun aku percaya kamu ada.

Azmir Ar Rafif Abdul Hamid

Di sinilah akhirnya kami berada. Di rumah sakit milik omku, Fatah Al Kahfi, aku dan Zee masih menunggu dokter Iwan, dokter obgyn yang akan menangani Zee. Dari informasi yang kudengar, dokter Iwan sedang ada tindakan caesar untuk pasien dokter Fatah yang tiba-tiba saja air ketubannya pecah. Karena itu pula bukan hanya aku dan Zee yang menunggu di sini. Tapi banyak. Dan kebanyakan dari perempuan yang menunggu, memiliki ukuran perut yang cukup besar.

"Sus, masih lama enggak sih dokter Iwan?" ringis Zee masih terus mengusap-usap perutnya dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kiri Zee sedang dilakukan pengecekan tensi oleh salah seorang suster.

"Belum bisa diperkirakan, Bu. Paling cepat sekitar 30-40 menit. Tapi paling lama dokter bisa sampai 2 jam. Tergantung kondisi si ibu yang melahirkan, dan kondisi si bayi."

Zee melirikku nampak kecewa. Bibirnya mengerucut, seperti ingin memohon sesuatu padaku.

Wajahnya yang pucat, serta lingkar matanya yang membengkak mengembalikan ingatanku pada beberapa saat setelah Zee mengatakan jika ada darah di pakaiaan dalam.

Jujur saja, mendengar kabar seperti itu untuk pertama kalinya, benar-benar membuatku bingung. Ditambah lagi tangisan Zee pada saat itu sangat mengiris hatiku. Aku tahu benar dia ketakutan. Namun di sini bukan hanya dia yang takut, tapi aku juga. Aku bukan takut kehilangan, namun aku takut tidak mampu membuat Zee tersenyum lagi.

Karena itulah aku langsung memanggil bunda. Menanyakan hal seperti ini apakah selalu dialami oleh ibu hamil atau tidak?

Untung saja bunda lebih tenang, dan lebih membawa kami ke arah pikiran positif. Jika bunda ikutan panik seperti kami, mungkin entah sudah sekacau apa kami saat ini.

"Tensinya bagus, Bu."

"Sus, masih lama?" tanya Zee kembali.

Di belakang Zee, ada bunda yang terus saja mengusap-usap bahu serta punggung Zee dengan sayang. Mungkin harapannya hanya satu, Zee supaya lebih tenang menghadapi semua ini.

"Sabar, Zee."

Bunda bergumam pelan. Merangkul tubuh Zee, kemudian mencium puncuk kepala Zee seperti kepada putrinya sendiri.

"Ditunggu saja ya, Bu. Kami tidak bisa menginfokan berapa lama lagi. Karena ibu juga harus menunggu sesuai antrian," tunjuk suster tersebut pada beberapa orang ibu hamil yang memang sudah menunggu sebelum kami datang.

Wajah Zee semakin menunjukkan kekhawatiran. Dia meremas lenganku, dengan tangisan di kedua matanya.

"Pindah rumah sakit aja. Pindah... aku enggak bisa nunggu lagi. Aku mau tahu bagaimana kondisi anakku."

"Sabar, Sayang. Aku coba hubungi omku dulu ya."

"Enggak mau!!!! Aku enggak mau!!" jeritnya semakin membuatku bingung.

Beberapa orang mulai menatap Zee yang berteriak histeris seperti anak kecil. Bahkan lebih dari tiga kali Zee memukul tubuhku karena aku terus saja memintanya untuk bersabar.

Kekhawatiran yang Zee rasakan memang cukup wajar. Setelah sekian lama kami menunggu Dia memberikan kepercayaan kepada kami, namun entah mengapa rasanya malam ini kepercayaannya itu harus ditarik lagi.

Ya, kemungkinan besar itu yang terjadi saat ini. Karena mendengar sedikit cerita dari bunda, menandakan ada kemungkinan kandungan Zee bermasalah. Entah itu tidak kuat, atau memang ada sesuatu hal mengenai kandungannya.

RAZETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang