Inilah fakta tentang kehidupan. Terlalu baik pada yang lain, kamu akan dimanfaati. Namun terlalu jahat kepada sesama, kamu akan dibicarakan sampai mati.
Ghanniyah Aazeen
Bolehkah kini aku menceritakan sepenggal kisah penyesalanku terhadap apa yang pernah kulakukan setahun yang lalu terhadap suamiku sendiri, Rafif.
Ketika aku emosi, ketika seharusnya aku tahu apa yang dia lakukan bermaksud baik padaku, ketika aku merasa kecewa atas semua kebaikanku kepada teman sekampusku yang sama-sama berjuang untuk skripsi, disaat itu pula aku menyesal telah melakukan semuanya dalam waktu yang bersamaan.
Tolakkan pedasku pada bantuan Rafif, kebodohanku membantu teman sekelasku sendiri, malah kini menjadi karma buatku. Walau aku sedikit tidak percaya dengan karma, tapi aku yakin inilah akibatnya.
Aku harus gagal dalam sidangku agustus tahun lalu. Aku harus mengulang semua tulisanku dari awal karena tiba-tiba saja teman sekelasku mengajukan proses pendaftaran sidang lebih dulu. Tapi parahnya apa yang dia ajukan, masalah yang dia bahas dalam skripsinya sangat mirip denganku.
Aku bingung, bagaimana seharusnya sikapku sekarang? Karena pada kenyataannya semua hal yang temanku itu kerjakan adalah hasil dari berdiskusi panjang lebar denganku. Dan bodohnya aku, aku malah menjelaskan padanya apa yang sedang kubuat dalam skripsiku itu.
Huhuhu, menyebalkan sekali.
Niatku ingin segera menyelesaikan kuliah ini, gagal sudah. Ternyata waktuku menjadi mahasiswa malah harus diperpanjang. Uang semesteran yang kupikir dapat ditabung karena dengan PD nya aku sudah akan sidang pada agustus tahun lalu, sekarang malah harus dikeluarkan lagi. Walau Rafif tidak banyak komentar, namun aku tahu dia memang sengaja menjaga sikapnya saat aku membahas tentang skripsi.
Karena setelah keributan kami setahun lalu, kini saat aku sedang sibuk berkencan dengan laptopku, dia buru-buru menghindar. Menjauh dari radius semburan kemarahanku.
Tapi sayangnya disaat dia menjauh, aku malah sangat membutuhkannya untuk dekat. Ya, aku akui sekarang ini aku benar-benar membutuhkannya.
Apalagi setelah penolakan dari kampus tentang judul dan isi skripsiku, aku sama sekali tidak tahu harus membuat apalagi. Waktu sidang yang kembali hadir pada bulan desember tahun lalu, sama sekali tidak aku lihat. Karena aku sudah tidak memiliki harapan untuk mengejar deadline tersebut. Namun masalahnya mau sampai kapan aku bersembunyi dan menyerah seperti ini?
Ini sama sekali bukan Zee yang kuharapkan.
Masih terpanah menatap laptop yang terus menyala dari pagi sampai siang ini, belum ada satu katapun yang kutulis untuk skripsi baruku ini. Dalam sunyinya kamar, karena Rafif sedang sibuk-sibuknya menjalankan bisnis baru bertema coffee, aku hanya bisa memandangi langit siang ini tanpa suara.
Dulu, sebelum menikah, aku paling cinta berdiam diri di kamar. Menghabiskan banyak waktu hanya untuk menonton drama Korea kesukaanku, atau membaca artikel-artikel terbaru tentang biasku. Tapi kini, apalagi setelah menikah, perlahan semua itu aku lepas. Bahkan aku sampai tidak tahu tentang kabar duka dari banyaknya artis Korea yang beberapa waktu lalu sedang ramai dibicarakan.
Aku tertawa sendiri memikirkan keputusanku untuk tinggal di rumah mertua dengan alasan semua fasilitas yang ada di sini dapat membuatku jauh lebih bahagia dari pada rumahku sendiri, nyatanya sama sekali tidak banyak kupergunakan.
Televisi besar dalam kamar Rafif ini jarang sekali kami nyalakan. Paling hanya jika Abi masuk ke dalam kamar ini, dan tidur siang bersamaku, barulah sejenak kunyalakan televisi ini. Tapi setelah Abi keluar, kamar ini kembali sepi. Lalu fasilitas pendingin ruangan yang tidak kumiliki di rumah dulu, malah semakin ke sini semakin kubenci.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAZE
General FictionBEBERAPA PART DI UNPUBLISH KARENA SUDAH TAMAT Harapan itu akan berwujud nyata saat kata sabar berubah jadi doa yang selalu diaminkan. 15 Tahun bukan waktu yang mudah. Tapi dalam 15 tahun itu kita belajar bila apa yang diinginkan tidak selamanya lan...