3

61 4 0
                                    

POV Vieri

Ketika perempuan itu menyeka rambutnya yang tertiup angin, aku berharap hujan deras malam ini dan terjebak diatap yg sama. Ternyata Tuhan belum mengabulkan siasat itu, jarak dudukku dan dia memang tak begitu dekat tapi aku seperti masih mengenalnya kendati sudah lama tak berjumpa. Setiap kali gerakan, itu isyarat cinta, dan aku semakin yakin dia adalah seseorang yang aku kenal.

Waktu itu, aku sedang duduk di tempat ngopi yang lagi hits di kotaku. Aku sudah lama tidak berada di Kota kelahiran, Lubuklinggau, maklum sedang sibuk mengurus thesis di Australia. Sekitar 5 bulan yang lalu, aku memutuskan berhenti membeli rokok dan berkomitmen untuk menabung agar bisa pulang lebaran tahun ini.

Sebenarnya, hal yang membuat ku begitu ingin pulang tahun ini adalah, ketidaknyamanan hidup disana, tapi bukan karena lingkungan dan manusianya, lebih kepada merasa telah diracuni pendidikan, merasa seperti robot dan kampusku adalah tempat Industrinya.

Aku pulang, di tiga hari sebelum lebaran tahun ini.
"Assalamualikum!" Suaraku kuat dari luar pagar.

Tampak sayup-sayup mamak (panggilanku kepada Ibu) menghampiri dari dalam rumah menuju beranda.

"Naaahh baleek nak."
Wajahnya masih bingung sambil berucap spontan.

Aku sudah tidak pulang empat tahun. Semenjak tidak bisa meneruskan pendidikan S1 ku, akibat protes keras atas klaim yang dilakukan dosen atas namanya terhadap penelitianku tentang teori antithesis filsafat eksistensialme.

Riuh suara teman-teman lama malam ini sungguh kudambakan sejak di Ausi. Beberapa teman bercerita tentang pekerjaan baru mereka. Istri mereka dan calon anak mereka. Aku mengaminkan dan merasa bahagia mendengar kabar bahagia itu. Kopi kami tidak pernah dingin, terus dipanaskan dengan obrolan.

Senang rasanya kembali bersua teman-teman lama duduk di ruangan terbuka, sambil bisa lebih jelas mendengarkan live acoustic dan rasa nyaman ngerokok yang tertnda selama 5 bulan, perokok sebenarnya harus merasa tidak nyaman dan mematikan rokoknya, ketika ada anak-anak dan perempuan, itulah perokok cerdas. Saya pernah membaca itu dicoretan dinding Yogjakarta.

Mengenai teori filsafat eksistensialme, yang melahirkan _cogito ergosum_ aku ada karena aku berpikir. Aku ada disini, dan aku akan berpikir untuk ada di hatimu, ucapku kepada gadis yang menyeka rambutnya itu.

Rasa penasaranku semakin menjadi kala ia menyeka rambutnya untuk yang kesekian kalinya, aku harus mencari cara agar bisa mendekati tempat duduknya. Kulihat colokan charger smartphone tergeletak di sebelah tempat duduk mereka, kebetulan ada sekitar tiga cewek lain disebelahnya dan itu aku pastikan temannya. Maklum saja, Di Ausi sesama jenis bisa jadi terjalin suatu hubungan (Cinta). Logo Warna-warni di sana (Ausi) lagi sangat marak guys. . . .

aku mengajak kawan yang lain untuk pindah dari tempat dudukku semula, tentu saja beranjak ke tempat duduk yang lebih dekat dengan para wanita itu. Dengan alasan biar bisa main smartphone sambil ngecas, padahal aku tahu bahaya saat main Smartphone sambil ngecas. ini semua demi kamu gadisku, meski kau belum menjadi milikiku.

"Misi mbak, boleh minjam charger?" Aku mulai bersiasat.

"Oh, Mari kak. Dak apo, lagian dak di pakek jugo kok chargernyo". Gadis itu mempersilahkan ku memakai charger.

Aku langsung beralih ke tempat dudukku, dan aku semakin dibuat penasaran olehnya. Wajahnya begitu familiar tapi aku sungguh lupa siapa dia, mungkinkah ia pernah hadir dalam hidupku dulu, atau pernah hidup dalam mimpiku?
Aku kembali mengingat, siapakah gerangan yang sedari tadi membuatku tak enak rasa tapi membuat bahagia di jiwa.

"Nah........ kena kau!!!" Gumamku.

Betapa terkejutnya aku, tenyata ia adalah Bella, mantanku selama SMP. Dulu ia begitu pendiam, berhijab dan sekarang sudah kulihat tato di lehernya, dan rambut pirang dimahkotanya.Senyumnya masih semanis yang dulu, gigi ginsul dan lesung pipit sempurna itu, membuat kuyakin itu pasti Bella dengan jarak sedekat ini.

Mungkin ini pengaruh liberalisme hidup di negeri barat, disana penilaian terhadap diri tidak melalui fisik, sejauh mana you berpikir dan seberapa luas you punya pandangan.
Disana juga, lebih mulia rasanya jika menjadi diri sendiri ketimbang, menjadi baik dimata orang lain.

Hal itulah, yang membuat ku biasa sadja ketika melihat cewek tatoan, rokoan dan seksian. Ketika ia berbuat baik, bagiku, sekali bagiku, ada syurga untuk mereka. Seperti kisah wali Allah yang membeli seluruh minuman keras dan membooking semua PSK, untuk supaya orang lain tidak bisa menikmatinya kemudian ia buang seluruh minuman keras itu dan tidak menyuruh psk itu bekerja karena sudah ia bayar. Namun orang-orang kebanyakan kenal dengan wali Allah itu sebatas pemabuj dan pezina. Oh teganya........

Niatku sedikit demi sedikit menuju urung ketika aku tahu itu Bella, oh kau begitu drastis berubah sehingga membuat aku pangling. Aku kenal Bella dan keluarganya, aku jg ada janji yang belum terpenuhi padanya.

Orang-orang mengenal cinta masa SMP adalah cinta monyet yang tidak meninggalkan kisah, tapi tidak denganku, Bella adalah cinta pertamaku yang paling sehat, yang aku sendiri tak kuat
berhadapan lama dengannya. Yang membuat ku giat sekolah, membuat bersekolah lebih terasa sekolah. Sangat berbeda dengan kehidupan sekarang, anak-anak SMP sudah bisa jalan dua-duaan , di hutan-hutanan, sambil gitu-gituan. Tidak dengan zamanku dulu, kami bercinta cukup dengan melihatnya dari kejauhan dalam kelas, kemudian berbalas senyum dan surat. Oh indahnya....

Kami saling curi pandang tanpa bicara. Jarakku dan jaraknya cuma dua meter lima inci, sangat dekat bukan! dan Sepertinya Bella juga mengingat aku. Kami secara badan dalam perkumpulan yang berbeda namun bergulat secara pemikiran yang dibalut nuansa Romantisme

Tapi aku sadar siapa yang barusan datang dan langsung duduk tepat disebelah Bella, tadinya ia bersama teman-teman ceweknya, namun sekarang ada satu orang sejenis denganku yang sangat menggangu, terlihat mereka beberapa kali saling bertukar senyum dan tak satupun untukku.

Aku beberapa kali menggulung-gulung tisu dengan sangat tidak jelas sekali.
Padahal aku tahu, tisu itu dari pohon dan semakin banyak menggunakan tisu, semakin banyak menebang pohon. Ahh ku sadar sudah banyak lilitan tisu yang menyerupai makanan Chocolatos dan bisa juga dijadikan rokok-rokoan.

Lubuk Linggau pada Rembang SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang