12

24 2 0
                                    

Hujan malam ini membawaku lena pada kisah yang diceritakan Wulan tadi sore. Bukan apa-apa, bagiku meskipun hanya sebuah novel, Abdi Laraku tak mungkin pure hasil imajinasi oleh sang penulisnya, terlebih kisah yang begitu menyentuh padahal, aku belum pernah membacanya tapi seakan kisah itu bisa membuat seolah-olah aku sudah tak asing mendengarkannya. Aku masih penasaran dengan Wira, kalau memang ia benar-benar sosok yang nyata, apakah masih ada orang-orang yang rela mengabdikan rasa hanya pada satu cinta? atau apakah itu yang biasa orang sebut dengan kesejatian cinta? Ah, aku hanya terbawa suasana saja di tambah lagi aroma hujan yang selalu menghadirkan keadaan melankolis.

Akhirnya suara pintu kamarku menyadarkan lamun yang sedari tadi mengajakku berdiskusi. Pekik suara April yang menjengkelkan membuatku beranjak dari tempat tidurku.

"Kak, Kak Damaaaar. Ayo makan, hari ini April yang masak buat makan malam".

"Iyo, iyo. Otw. . ." Sahutku dari dalam kamar.

Belum juga satu menit, Pintu kamar kembali di ketuk oleh April.

"Kak Damaaaaar, ayooooo." Suara April semakin membuatku dongkol.

"Dek, tau Kepanjangan dari OTW kan?" Jawabku mulai kesal.

"OKE TUNGGU WAE!!! Dem, mangkonyo cepatlah atau nak di omongi samo Mama kalo kak Damar dak galak makan masakan April?? Ancamnya

"Iyo, Ai cam. . . adek siapo nian ini. Hobby nian buat wong kesal!!!"

Di depan pintu kamar, ku lihat April berlari menuju ruang makan sedang Ibu hanya senyum-senyum melihat kedua anaknya selalu membuat bising suasana dalam rumah. Di meja makan, kehangatan selalu terjadi dengan obrolan kecil saat melahap lauk-pauk yang tersedia. Aku yang selalu dipercayai memimpin doa sebelum makan selalu berucap syukur atas nikmat yang Tuhan berikan pada keluarga sederhana kami.

Di keluargaku, makan malam salah satu rutinitas yang tak pernah terlewatkan dan telah menjadi menu wajib harian. Kata Ayah, makan malam bersama adalah salah satu bentuk keharmonisan dalam keluarga dan bukan hanya itu saja, salah satu cara mendidik anak agar dapat menumbuhkan keterampilan serta perilaku sosial anak.

Anak yang sering duduk makan bersama keluarga dan saudara-saudaranya memiliki kecenderungan lebih ulet serta memiliki sifat sopan dalam berbicara kepada orang yang lebih tua, dibanding anak yang tidak punya kebiasaan makan bersama. Tak hanya itu, membiasakan makan malam bersama keluarga juga akan meningkatkan kualitas hubungan keluarga itu sendiri dengan timbulnya rasa kebersamaan maka terciptalah keluarga yang saling mengerti satu sama lain sehingga mencapai keluarga yang bahagia.

Makan malam purna, Ayah memanggilku dan April untuk diajak berbincang, dan biasanya Ayah selalu memberi nasehat untuk kedua anak tersayangnya. Di ruang tengah kami biasa mendengarkan Ayah memberi fatwa, iya, fatwa. Sebab tak sekalipun kata-kata yang terlontar dari mulut Ayah yang tak terngiang di kepalaku, dan ayah paling tau sikon (situasi dan kondisi) jika ingin mengajak kami bercengkrama, salah satunya malam ini saat hujan yang membuat suasana semakin harmonis.

"Kak, menurut kak Damar, Apo yang paling ngebuat kakak bahagia?" Ayah memulai perbincangan.

Aku sedikit kaget dengan pertanyaan Ayah, dan tidak seperti biasanya Ayah memulai obrolan dengan sebuah pertanyaan. Sejenak berpikir, kemudian. . .

"Simpel Yah, yang ngebuat kakak bahagia yo. . . apo lagi kalo bukan jadi anak Ayah dan Insya Allah selalu berusaha ngebuat Ayah samo Ibu senyum." Jawabku.

Dengan wajah kesal April langsung menyela obrolanku dan Ayah.

"Oh, jadi April dak masuk dalam kriteria kebahagiaan kak Damar?" sambutnya dengan nada protes.

"Oh iyo, sikok lagi punyo adek yang super manis dan sedikit sinis. Hehe" Lanjutku sambil menoleh pada April.

Kemudian Ayah langsung melerai adegan saling sahutku dengan April, dan langsung menatap April dan kembali memberi tanya.

"Nah, sekarang adek." Ayah coba menenangkan suasana. "Yang paling adek cari pas bangun tidok apo?"

"Pasti HP lah." Gumamku yang Langsung menoleh pada April.

Sejurus kemudian April menjawab.

"Hm. . Hm. ., HP Yah." April Tersipu.

Suara gemercik air yang menetes di genangan hujan seolah ikut riuh dengan kebersamaan kami, mungkin mereka iri sebab suhu dingin diluar tak mampu menembus kehangatan yang tercipta di ruang tengah tempat kami saling bertukar ucap antara satu sama lain. Kadang penyair-penyair paling masyhur benar dengan ucapannya, Manusia yang paling tak berperasaan adalah ia yang tak menghasilkan satupun puisi saat hujan, sedangkan ia sedang berjarak (jauh) dengan kekasihnya. Untung aku sedang tidak memiliki kekasih, tapi masih mampu aku berpuisi meski hanya sekedar sajak yang tak memiliki makna.

Ups. . . Maaf, aku terlena oleh rayuan hujan yang sedang mengguyur malam hingga lupa pada topik yang sedang ku tuliskan. (Suara hati Author)

Sementara itu, Ibu yang sedari tadi sibuk di dapur melangkahkan kakinya ke arah kami dan membawa teh hangat untuk kami seruputi, lalu Ibu mengambil tempat di sebelah Ayah menandakan ia siap melengkapi kisah keharmonisan kita malam ini.

Tak lama kemudian Ayah mulai menanggapi jawaban dari pertanyaan yang ia ajukan pada kami. Sembari meletakkan gelas teh yang baru saja ia minum, ia berucap.

"Pertamo, Ayah pengen nanggapi jawaban dek April." Ayah memulai "Tekhnologi memang ngebuat kehidupan manusio lebih mudah, tapi sayangnyo kito kadang dak bijak dalam menggunakan tekhnologi. Contohnyo adek, dari jawaban adek tadi, adek itu masih di tingkat kebutuhan atau la masuk ke tingkat kecanduan dengan Hp?" Ayah kembali menanyai April

"Kecanduan Yah. Yo dem April janji mulai besok akan lebih memprioritaskan hal yang lebih penting ketimbang mendahului hal yang dak seharusnyo di dahuluin." Dengan muka datar dan mengakui kesalahan.

Kulihat wajah April sedikit muram dan jengkel oleh kelakuanku yang sedari tadi menjahilinya dengan tingkah anehku. Aku tahu, hati April begitu mendidih dan mungkin saja ia telah mempersiapkan sesuatu setelah obrolan ini berakhir, atau dalam hatinya bergumam "Tunggu pembalasanku kak Damar, jengkel nian aku. . .".

Dan saatnya Ayah memberikan tanggapan atas jawaban yang ditanyakan padaku.

"Ayah salut samo jawaban kak Damar, Jadi kak Damar menganggap Bahagia itu bukan tentang petualangan yang mano bahagia itu harus kito cari, dan bukan jugo tentang takdir yang mano bahagia itu cuma biso kito tunggu, tapi melainkan bahagia itu tentang tekad dan keinginan kito untuk bahagia. Sebab raso bahagia itu sejatinyo kito yang ciptain. Ayah laju ingat dengan kato-kato bijak tentang bahagia yang kiro-kiro cak ini (Apalah arti sempurna bila sederhana mampu membuatmu bahagia)".

Aku hanya tertegun mendengar ucapan Ayah, sambil mengangguk aku mencoba meresapi setiap kata yang keluar dari mulut Ayah.

"Satu lagi, pengen tahu rahasia kebahagiaan?" Ayah mencoba memancing rasa penasaranku

"Emang apo rahasionyo Yah?" Jawabku dan April serentak dengan antusias.

"Rahasia bahagia adalah saat engkau mampu melihat keindahan dunia tapi disisi lain engkau tak pernah melupakan dirimu sendiri!!" Tutup Ayah

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 19, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lubuk Linggau pada Rembang SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang