9

40 1 0
                                    


Rasanya sudah hampir tiga bulanan aku tak lagi menonton televisi, di rumah paling aku hanya melihat dan membaca berita atau informasi terkini hanya via Youtube dan media online saja. Acara yang tersaji di televisi entah mengapa bagiku tak lagi menarik, apalagi di tambah musim politik baru-baru ini semakin membuat minatku menonton televisi semakin berkurang.

Bicara tentang politik, tak lepas dari peran politisi sebagai pemain atau pelaku di dalamnya. Dewasa ini, permasalahan yang di hadapi bangsa dalam hal politik sudah teramat banyak, salah satunya adalah krisis moral politik. Krisis moral politik inilah yang membuat para politisi kita semakin jauh dari simpati publik. Bagi publik, keberadaan politisi tidak lagi membawa arti positif dalam mewujudkan kehidupan bangsa yang makmur dan sejahtera, alih-alih memperbaiki tatanan sosial, Justru Politisi dinilai membuat negara semakin jauh dari cita-cita luhur bangsa.

Perilaku buruk sebagian besar politisi yang telah mendarah daging dan menjadi kebiasaan seperti mengumbar janji pada rakyat tanpa diikuti tindakan nyata, dan belum lagi tindakan yang merugikan negara seperti korupsi dengan berbagai modus, salah satunya pencucian uang. Uang hasil korupsi dijadikan dalam bentuk barang seperti Rumah mewah, Mobil dan barang-barang mewah lainnya. Yang menyakitkan lagi, adalah uang hasil korupsi dijadikan sebagai modal untuk mendapatkan dan memiliki wanita-wanita cantik, entah hanya sekedar simpanan atau dijadikan Istri.

Perilaku semacam inilah yang menciptakan antipati publik terhadap mereka (Politisi) sehingga, melahirkan apatisme masyarakat berpartisipasi dalam politik atau biasa disebut dengan Golongan Putih (Golput). Penomena semacam ini (Antipati Publik) berdampak luas terhadap persoalan-persoalan lain seperti lemahnya legitimasi konstitusional dan keberlangsungan sistem demokrasi, apalagi saat masyarakat sadar bahwa peran mereka hanya sebagai pelengkap yang tak berarti bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, dan memaksa Golput tercipta secara langsung dan masif maka sistem demokrasi terancam sirna.

Kulihat Time line Instagramku sore itu seperti biasa, hanya sekedar untuk melihat update story dan foto-foto yang berseliweran di lini masa. Aku biasanya mencari informasi tentang perlombaan-perlombaan menulis seperti Essay, Puisi, dan cerpen yang biasa di selenggarakan oleh akun Literasi tapi tak satupun kutemui. Lalu ku beralih membuka akun What's App dan mengajak teman-teman agar bersedia meluangkan waktunya untuk berdiskusi di Kedai Kopi si Aji depan Kompi nanti malam, respon teman-teman memuaskan hampir semua yang ku tawarkan akan hadir memenuhi ajakan ku.

Lalu kutelpon Bella . . .

"Halo, Bell. Sedang apa dan dimana?" Sapaku di ujung telpon

"Iyo, Mar. Ini lagi di taman bungo, Ngapo, Mar?" Ia balik bertanya

"Cuma nak ngasih tau, kalo malam agek agenda kito ngumpul samo kawan-kawan ngebahas Ide yang pernah kau diskusikan samo aku kemaren." Aku menerangkan

"Oh, oke oke. Nak bareng be apo langsung ketemu di Kompi be kito?" Ia menawarkan ajakan untuk pergi bersama

"Aku samo Wulan bae pegi kesano agek malam, Bell." Kutolak ajakanya agar tak terlalu merepotkan

"Oh Iyolah kalo cak itu, dem dulu yo. See u!!" Tutupnya dengan tergesa

Tak seperti biasa Bella bersikap begitu padaku, belum sempat aku bertanya dengan siapa ia di taman bunga telponku buru-buru ia tutup. Aku mencoba menerka apa yang sedang terjadi pada Bella, tapi lagi-lagi logikaku segera menyadarkan bahwa aku tak berhak untuk terlalu mencampuri urusan pribadi Bella, Aku hanya teman tidak lebih dari itu.

Sedang asik menikmati nuansa sore di beranda rumah sambil menyeruput kopi, di pagar depan rumah, Wulan dengan sepedanya menghampiriku mengajakku jalan-jalan sore dengan sepeda. Tak butuh waktu lama setelah menghabiskan kopi kami langsung menyusuri jalan menuju Taman Olah Raga Silampari, jalanan terlihat lengang sebab memang bukan jalan utama sehingga cukup membuat kami nyaman mengayuh sepeda sambil bercerita.

"Lan, agek malam ngumpul di Kedai Aji yuk." Ku buka obrolan sembari mengayuh sepeda

"Jadi, tapi agendanyo apo, Mar?" Tanya Wulan padaku

"Rencananyo nak ngebahas prihal pembentukan komunitas." Laluku lanjutkan dengan menceritakan hasil diskusi antara aku dan Bella tentang keinginannya membentuk komunitas yang berkaitan dengan Literasi di Watervang beberapa waktu lalu.

"Oh, Bagus itu. Setuju nian kalo ado ide cak itu, Mar. Cak mano dg kawan-kawan lainnyo, la di kasih tau kan?" Ia menanggapi dengan antusias

"Sudah, tadi siang la dem aku kabari via What's App dan cuma ado beberapo be yang dak biso datang selebihnyo galak galo." Ku jawab tanyanya meyakinkan sembari melanjutkan mengayuh sepeda dengan santai

Tiba di Taman Olah Raga Silampari, kami sempatkan mengitari bundaran yang melingkupi taman sebelum beristirahat di gazebo samping lapangan bola. Suasana ramai, Kaum millenial selalu mendominasi keadaan, Di sana-sini terlihat riuh kerumunan manusia sibuk dengan kegiatan olah raganya masing-masing.

Semenjak di resmikan beberapa tahun lalu, TOS singkatan dari Taman Olah Raga Silampari selalu ramai oleh masyarakat sekitar, entah itu mereka yang hanya duduk-duduk disekitaran Taman menghabiskan waktu senggang ataupun mereka yang sengaja datang melakukan kegiatan olah raga.

Di Gazebo, Aku dan Wulan masih asik beristirahat sembari menikmati riuh suasana taman. Disela obrolan, Wulan dengan suara khasnya yang rada manja mengusik pandanganku menikmati suasana. . .

"Damaaar," Ia memaksaku menoleh padanya "Minggu depan aku balek lagi ke Bandung, Mar." Sambil memperlihatkan wajah sedih.

"Lah, Cepat nian balek ke Bandungnyo," Aku tatap wajahnya seraya bertanya "Biasonyo libur sebulan?"

"Iyo, Mar. Tapi tahun ini berhubung lebaranyo sebelum UAS jadi memang agak cepat." Masih dengan wajah sedih

"Oh, tapikan abes UAS pacak balek ke Linggau lagi." Sambutku menenangkan

"Ai, neman nian Balek terus," dengan wajah cemberut ia melanjutkan "Mano di boleh oleh Ayah, kan jatah Balek aku cuma setahun sekali!!"

"Kan masih ado tahun depan, ngapo laju nak sedih, Siapo tau libur semester gek aku maen ke Bandung." Kucoba mencairkan suasana

"Ah, Ngota. Dem lah cuma nak nyenangi hati aku be kau nih, Mar." Ia memotong pembicaraan

"Yo dem cak ini bae," Aku menwarkan sesuatu padanya "Pokoknyo sebelum kau pegi ke Bandung, kito ke taman bungo dan nonton bioskop. Agek ado sesuatu jugo untuk kau dari aku."

"Sesuatu apo?" Tanya Wulan dengan wajah penasaran

"Istimewa." Sambungku

"Ke Taman bungo dengan nonton bioskop?" Tanyanya sambil menatap curiga

"Ah, kalu masalah itu, On me lah!!!" Tegasku dengan yakin.

"Awas idak, Pokoknyo aku dak bakalan bawak dompet pas jalan samo kau gek, Mar!!" Sambil mengancam namun dengan wajah yang telah berubah menjadi ceria.

Wulan, memang memiliki sifat manja apalagi padaku. Hubungan persahabatan kami memang terjalin sangat harmonis, dan tak pernah sekalipun terjadi cekcok selama persahabatan terjalin. Aku sudah menganggapnya seperti saudara kandung, begitupun dirinya yang menganggap ku tak hanya sekedar teman melainkan saudara meski tak sedarah.

"Ado satu lagi, tadi kan kau yang nawar, Mar. Nah, sekarang aku yang minta dan harus di penuhi!!" Kembali ia mengajakku bernegosiasi

"Apo lagi?" Sahutku, lalu dengan nada meledek "Kalo ongkos pesawat Maaf nian, Aku dak biso. Tiket pesawat lagi mahal". Sambil cekikikan

"Isst, dio nih kebiasoan nian ngejawab sebelum wong selesai ngomong." Sambil ngedumel ia mengutarakan keinginannya. "Aku la lamo dak dengar suaro Duta Sheilla On Seven, nah jadi kito karaokean abes jalan samo nonton."

suaraku memang sering di bilang teman-teman hampir mirip dengan suaranya Duta, entahlah padahal bagiku suaraku biasa-biasa saja. Aku Menyetujui permintaan Wulan, dan kebetulan sudah lama aku tak menyanyi apalagi karaokean.

"Oke, permohonan diterima." Tutupku sambil mengajaknya pulang sebab petang telah sempurna dengan senja yang mendominasi awan di ketinggian khayal dan angan. "Yok, Balek, Lan. Bentar lagi adzan keburu maghrib gek sampai rumah." Ku langkahkan kaki menuju sepeda

"Damar, Tunggu." Dengan manja ia menggenggam tanganku dari belakang.









Lubuk Linggau pada Rembang SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang