POV_Bella
Watervang, salah satu tempat favoritku dan Damar memburu senja, di sana kami biasanya menikmati sore hari sampai temaram lampu kota menerangi jalanan menyambut hadirnya malam. Diantara deru suara air bendungan Watervang acap kali Damar membacakan ku sebuah novel "Max Havelaar" yang terbit pertama kali pada tahun 1860 karya Multatuli nama samaran atau nama pena si penulis yang hidup pada masa kolonial Belanda. Uniknya, Eduard Douwes Dekker nama aslinya, adalah warga negara Belanda mantan seorang Asisten Residen pemerintahan Hinda Belanda di Jawa, yang dengan berani mengkritik tentang kesewenang-wenangan kolonial Belanda pada Rakyat Indonesia pada masa itu masih bernama Hindia Belanda.
Terbitnya buku ini menimbulkan kegemparan di seantero negri Belanda, yang selanjutnya melahirkan tuntutan-tuntutan dari dalam negri Belanda sendiri, agar pemerintah Belanda memberlakukan Politik Etis bagi rakyat negri seberang (dalam hal ini indonesia). Pemberlakuan Politik Etis inilah yang memberi ruang bagi segelintir rakyat indonesia mampu mencicipi pendidikan yang lebih tinggi. Atas pengaruh besar inilah sehingga Pramoedya Ananta Toer menyatakan Bahwa Novel "Max Havelaar" adalah Sebuah Kisah yang "Membunuh" Kolonialisme seperti yang dikutip oleh Media New York Time pada tahun 1999.
Sejatinya, Novel tersebut ditulis oleh Multatuli sebagai bentuk ke frustasiannya terhadap eksploitasi lewat sistem Tanam Paksa serta kebijakan-kebijakan pemerintah Belanda yang menindas Bumiputera. Dengan nama pena Multatuli yang berarti "Aku Menderita", dia mengisahkan kekejaman tanam paksa yang menyebabkan ribuan pribumi kelaparan, miskin dan menderita. Mereka (rakyat) diperas sedangkan pejabat-pejabat kolonial Belanda dan Pribumi sibuk memperkaya diri dengan praktik-praktik korupsi.
Aku selalu terbawa suasana oleh Novel yang di ceritakan Damar padaku, bagiku seorang Introvert seperti Damar, memang menjadi teman yang paling asyik untuk sharing dalam hal apapun, sebab selain menjadi pendengar yang baik ia juga menjadi pemberi solusi yang hebat atas setiap permasalahan. Hampir setiap hari dan tak pernah bosan dengan suasana yang sama di watervang, dan aku sangat senang mendengarkan Damar nge-riview bacaan-bacaannya padaku.
Watervang, merupakan bendungan yang dibangun pada masa akhir kolonial Belanda yang di selesaikan pada tahun 1941, dibangun sebagai fungsi pengairan area persawahan masyarakat di sepanjang kawasan sungai Kelingi kota Lubuk Linggau sampai ke kecamatan Tugu Mulyo dan Megang Sakti dengan luas 8.000 hektare. Yang membuatnya Unik adalah bendungan yang menyerupai Air terjun sehingga tempat ini menjadi salah satu objek wisata paling rekomended bagi para milenial menghabiskan waktu sore harinya sembari bercengkrama dan berdiskusi dengan teman sebaya.
Entahlah, saat itu kembali terbersit dibenak, keinginan untuk membuat sebuah komunitas Peduli Literasi terhadap anak-anak yang kurang beruntung. Sebenarnya Keinginan ini sudah lama bersemayam dalam ruang berpikirku, dan kali ini kucoba diskusikan pada Damar.
"Keren nian Novel (Max havelaar) itu, Mar. Rasonyo aku ikut lebur dalam cerito yang kau sampaikan, memang punyo bakat nian sahabat aku nih dalam ber-story telling!!" Ku lontarkan pujian pada Damar.
"Ah, aku cuma nak nyalurkan hobby bae, Bell. Kebetulan kau jugo galak dengar aku nge-review Novelnyo". Jawab Damar humble
"Tapi serius aku tuh, Memang berbakat nian kau dalam story telling, Mar". Lanjutku memuji
"Ah pacak nian Kau nih, Bell. Terbang laju aku gek". Sahutnya dengan senyum
Lalu, ku putuskan untuk menyampaikan keinginanku tentang Komunitas Peduli Literasi dan meminta pendapatnya.
"Oh, Iyo Mar. Sebenarnyo la lamo aku nak ngomong sesuatu ke kau dan kawan-kawan laen, tapi waktunyo dak pernah pas". Mulai ku
"Nak ngomong apo, omonglah!! waktu yang dimiliki hanya 30 detik dan akan berjalan saat anda mulai bicara". jawabnya dengan canda
"Ah, itulah galak meluat. Wong seirus!" Tegasku
"Iyo iyo, Nak ngomong apo emang?" Tanyanya
Aku mulai membicarakan tentang wacanaku untuk mengajak Damar serta teman-teman yang lain membentuk Komunitas Peduli Literasi dan target utamanya ke anak-anak yang kurang beruntung. Sebab, kalau bukan kita Pemuda sebagai tonggak peradaban dan status mahasiswa yang akan menjadi agen perubahan, siapa lagi yang mampu berbuat demikian? Peduli terhadap lingkungan sekitar dan ikut serta dalam memajukan kehidupan bangsa sebagai mana tertuang dalam UUD 45.
Aku sangat puas saat melihat Damar antusias mendengarkan apa yang di sampaikan olehku tentang komunitas tersebut, dia begitu mendukung dan akan segera mendiskusikan kembali pada teman-teman lainya dan dalam bentuk forum formal.
"Ide Bagus itu Bell, ngapo dak dari dulu ngasih tahu. Pokoknyo dalam waktu dekat wacana ini harus segera terealisasi, kalo pacak minggu depan Komunitas Peduli Literasi ini la terbentuk dan la mulai jalan kegiatannyo. " Di menanggapi dengan antusias
"Iyo, Mar. Mumpung kawan-kawan masih pada libur, kalo la berkegiatan lagi gek la susah kito nak ngumpul". Aku mengiyakan pendapat Damar
"Gek, kito cubo ajak kawan-kawan ngumpul di kedai Aji bae, kau Bell yang mulainyo gek aku nambahi bae. Yakin nian aku, pasti setuju galo kawan-kawan tuh". Damar menutup dialog sore itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lubuk Linggau pada Rembang Senja
Teen FictionLubuk Linggau, Kota kecil dengan seribu makna dan sejuta kisah yang mengiringi perjalanannya, tak terkecuali dengan kisah Damar, Bella, Vieri, Wulan dan teman-teman lainnya. Kisah persahabatan yang terselip rasa cinta menjadikan kisah mereka berliku...