07. KEBENCIAN

20 7 2
                                    

07. KEBENCIAN

Prinsip saya: dimana kesabaran saya habis, disitulah rasa kepedulian saya berhenti.” —Railo Areytama

Railo menjatuhkan tas hitamnya ke lantai kamar dan langsung membanting dirinya di atas kasur. Railo mengusap wajah lantas mengerang pelan sambil menutup keningnya dengan telapak tangan. Ia menatap langit-langit kamarnya yang putih tanpa berkedip. Tak tahu kenapa, ia merasa terbebani setelah ia mengucapkan kalimat tadi di sekolah kepada Retta.

Perasaannya jadi campur aduk antara panik, takut, resah, dan lainnya. Seperti ada sesuatu dalam hatinya yang mendorongnya untuk mengatakan kalimat tersebut pada Retta, padahal dirinya tidak menginginkannya.

Railo lalu bangkit dari posisi terlentangnya dan duduk di tepi kasur. Bangkit dari duduk, Railo berjalan ke meja belajarnya dan berdiri disana sembari melepas dasi abu-abu yang menggantung di lehernya dan membuka kemeja dari badannya. Railo kini hanya mengenakan kaos berwarna putih polos.

Railo tertunduk, matanya menangkap sebuah objek di hadapannya yang tergeletak di atas meja belajar.

Tangan Railo terulur mengambil sebuah gambar wajah dirinya yang sudah di bingkai kan dengan apik. Railo terdiam sejenak sambil mengamati lukisan sederhana itu dan perlahan senyumnya terukir walau tipis. Bentuk love yang tak sengaja seseorang itu buat juga masih ada disana, enggan Railo hapus dari tempatnya.

Railo menghela napas perlahan dan meletakkan lukisan tadi di tempat semula. Railo begitu menyukai lukisan itu. Mungkin bagi Railo, lukisan itu bisa menjadi kenangan yang diberikan oleh orang itu.

Jarum jam kini telah berhenti tepat di angkat empat. Railo beranjak dari tempat, membawa kemeja yang ia pegang tadi untuk dimasukkan ke keranjang pakaian kotor. Besok jadwalnya adalah mengenakan seragam pramuka, maka Railo manaruh kemeja putih tadi ke keranjang kotor.

Tak lama, terdengar bunyi pancuran air yang keluar dari shower dan membasahi kepala serta tubuhnya yang terasa letih. Sementara hanya itu yang mampu dilakukan Railo untuk menyegarkan tubuhnya serta pikiran.

Tidak lama kemudian, Railo muncul dari tangga sambil mengacak-acak rambutnya yang basah sehabis mandi. Railo yang hendak jalan ke arah dapur untuk mencari makan, langkahnya langsung berubah haluan, menuju ruang tamu di mana Ketrin berada.

“Ma,” panggil Railo yang heran melihat Ketrin—mamanya tak henti mengeluarkan kalimat istighfar. “Mama kenapa?”

“Railo....” Ketrin menyebut namanya, membuat putranya itu datang menghampirinya semakin dekat dan duduk disampingnya. Ketrin tak kuasa menahan tangisnya hingga air mata itu turun menetes di pipinya.

“Kok nangis, Ma?” Railo semakin tidak mengerti. “Ada apa, sih?”

“Kakak kamu....,” jeda Ketrin, “Malven...”

Kening Railo semakin mengerut dan menunggu Ketrin melanjutkan ucapannya. Sehabis Ketrin menyeka air matan, ia kembali berucap sambil menatap Railo. “Malven lagi jadi buronan polisi, dia udah bikin orang celaka... udah culik orang juga.” Ketrin terisak lagi. “Tadi polisi telepon Mama. Mama nggak tahu itu bener atau nggak kakak kamu yang ngelakuinnya. Mama pusing mikirinnya, Rai...”

“Tuh, kan, dia tuh emang selalu nyusahin orang! Apa dia nggak mikir, perbuatannya itu cuma bisa bikin Mama nangis?” Railo malah terpancing emosi dan marah-marah. “Heran Railo! Itu orang nggak pernah ada niatan buat tobat kali! Nggak pernah bosen jadi sampah!”

“Railo, kenapa kamu jadi marah-marah, sih....,” heran Ketrin. “Mama udah pusing mikirin Malven, sekarang denger kamu ngoceh gitu, bikin kepala Mama makin stres aja.”

“Railo benci banget sama dia, Ma.” Mata Railo kini menajam. “Biarin aja dia dikejar polisi. Semoga cepat ketangkep, deh.”

“Railo, kok, ngomongnya gitu, sih?”

“Dia udah jahat, Ma, buat apa dikasihanin lagi? Daripada dia berkeliaran bikin kerusuhan di mana-mana, bikin Mama makin pusing mikirin dia, mending dia di penjara sekalian, kan? Sekalian biar dia bisa tobat.” Railo berujar sangat serius dan menggebu-gebu. Ia kembali bangkit dari duduknya dan hendak pergi ke dapur. “Liat aja, nggak lama lagi polisi bakal nangkep dia.”

***

SMA Taruna Wijaya.

Pukul 06.55. Retta masih berjalan santai menuju tangga, sementara siswa yang lain berlari sekuat tenaga agar tidak terlambat masuk kelas. Pagi ini, Retta sengaja tidak berangkat bersama Resta karena ada misi yang harus dia lakukan.

Saat Resta mengajaknya berangkat bersama, Retta beralasan sakit perut dan meminta kakaknya itu untuk berangkat lebih dulu. Padahal, alasan sebenarnya, Retta berniat mengambil topi baru di kamar Resta. Jika ada yang bertanya berapa topi yang dimiliki Resta, Retta akan menjawab cukup banyak. Sebab, cowok itu memang mengantisipasi jika topinya dicolong lagi oleh Retta. Dan, seperti sebelum-sebelumnya, Retta berhasil mengambil topi Resta.

Pukul 07.05. Retta baru saja selesai menaiki anak tangga terakhir dan berjalan ke arah Utara. Kelasnya memang berada di sana, bagian gedung paling ujung.

“Kemana aja lo, Ret, jam segini baru datang? Untung aja Bu Siska belum datang,” omel Ana.

Shea menoleh ke arah Ana dengan raut wajah tak berminat. “Biasa. Buang hajat dulu,” ucapnya. Kemudian, Retta mengeluarkan buku matematika dari tas dan menaruhnya ke atas meja.

“Mana, gue lihat tugas lo.” Ana langsung mengambil buku yang baru saja dikeluarkan oleh Retta. Bola matanya hampir keluar dari tempatnya saat dia mendapati isi tugas di dalamnya. Retta hanya menjawab tanpa caranya dan jawabannya pun sepertinya ngasal.

“Yang  benar, dong, kalau ngerjain tugas!” protes Ana kepada Retta.

“Bawel amat, sih, lo, Na.” Retta mengambil kembali bukunya dari tangan Ana.

Kemudian, Ana mengeluarkan buku tugasnya dan langsung memberikannya kepada Retta. “Nih, lihat tugas gue. Benerin, deh, tugas lo. Mumpung Bu Siska belum datang, katanya dia telat lima belas menit.”

Lalu, Ana mengeluarkan alat tulisnya dan memberikannya kepada Retta. “Padahal, kan, kemarin gue udah kasih pap¹ tugas gue, kenapa lo nggak ngerjain, sih, Ret?”

“Gue lagi enggak ada kuota, Na. Kenapa enggak kirimin gue kuota atau kalau lo mau dan baik sama gue, kerjain kek tugas gue sekalian.”

“Hebat, ya, alasan Lo nggak ada kuota, tapi masih bisa main Instagram. Bilang aja lo males, kan?”

“Kuota buat Instagram, sih, ada, tapi buat unduh foto tugas enggak ada.”

“Sinting, ya, lo!” Ana menoyor kepala Retta, membuat Retta meringis kesakitan. Namun, setelahnya mereka berdua tertawa.

****

pap¹ ; post a picture

****

VOMENT!1!1!


Mulmed; Railo n Retta🎈


©2019
@railoareytama
@kinarettaarsyafika
@dinoraky
@anaalandraa
@vikramalex_
@alya.salsabila [hack:(]
@ayslsbla [ini aktip;v]

RAILOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang