08. SHARENA ADIJAYA

18 5 1
                                    

08. SHARENA ADIJAYA

Cintaku, setabah hujan di malam hari. Tetap turun ke bumi meski tidak menjanjikan pelangi.”

****

Berkumpul di lapangan pada hari Senin adalah hal yang membosankan bagi Retta. Kegiatan upacara bendera memang membutuhkan lumayan waktu yang lama. Apalagi berdiri di antara puluhan murid-murid dan di bawah terik sinar matahari pagi.

Sudah beberapa kali Retta menyeka keringatnya yang kadang mengucur di dahinya. Ana yang berada tepat di depan Retta sibuk mengibaskan tangan ke arah wajahnya yang tampak memerah. 

Ana menengadahkan kepalanya ke atas dan langsung menangkap sinar matahari yang menyehatkan. “Panas banget, sih, neraka bocor apa, ya?”

Retta menutupi sebagian wajahnya dengan telapak tangan kanannya. “Itu kepala sekolah perasaan nggak selesai-selesai ceramahnya. Nggak tau apa anak murid nya kepanasan begini?” dumel Retta.

Puk

Retta merasakan bahu kirinya di tepuk pelan. “Siapa, sih, nggak tau apa gue kepanasan gini? Pura-pura pingsan aja, lah, gue!”

Puk

Kali ini tepukan di bahu kirinya agak kencang. Hal itu membuat Retta emosi dan menengok ke samping kirinya untuk memarahi siapa yang menepuk bahunya.

“Siapa, sih, nggak ta—”

Kalimat Retta menggantung saat ia melihat siapa orang menepuk bahunya tadi.

“Kamu kalau nggak berhenti bicara, Ibu suruh kamu berdiri di depan podium itu!” ucap Bu Zika—guru BK.

Retta menyengir. “Abisnya panas, Bu. Ibu nggak kepanasan gitu? Saya saja dari tadi—”

“Mau bicara lagi? Ibu seret juga kamu sekarang ke depan!”

Ucapan Bu Zika dengan nada tinggi itu mengundang banyak perhatian banyak murid dan tentunya kepala sekolah yang sedang asyik menceramahi murid-muridnya.

Retta dan Bu Zika sekarang sukses menjadi pusat perhatian. Retta paling tidak suka jika dirinya menjadi pusat perhatian seperti ini. Ia sama sekali tidak suka.

“Kamu juga Ana! Kamu bisa diam nggak, sih, selama upacara?!” omel Bu Zika.

Ana menengok ke belakang. “Lah, kok, jadi saya, sih, Bu? Kan Retta yang lagi di marahin,” ujar Ana tak terima.

Bu Zika melotot ke arah Ana. “Kamu juga sama saja!”

“Ada apa, Bu Zika?” tanya kepala sekolah lewat mic.

Bu Zika tersenyum malu. “Enggak ada apa-apa, Bu. Silahkan di lanjut,” ucap Bu Zika setelah itu berjalan ke arah belakang lagi.

Sebelumnya ia sempat memberikan tatapan sinis kepada Retta dan Ana yang memandangnya dengan tatapan meremehkan.

“Baiklah, kita lanjutkan. Jadi, sekolah ini akan berulang tahun yang ke-23 tahun. Ibu sudah mendiskusikan ini dengan seluruh para guru SMA Taruna Wijaya dan pengurus OSIS.” Bu Nana—kepala sekolah menjeda ucapannya. “Kita berencana untuk membuat malam perayaan di sekolah ini. Kita akan membuat pertunjukan yang meriah untuk ulang tahun yang ke-23 ini. Untuk lebih rinci silahkan tanyakan kepada ketua OSIS, Fikri.”

“Ibu akhiri, Assalamualaikum wr.rb.”

Ketua pelaksana upacara segera memberi komando tegak gerak. Ketua pelaksana upacara itu adalah Fikri Adinata—ketua OSIS SMA Taruna Wijaya.

Selesai upacara bendera, murid-murid berhamburan masuk ke kelasnya masing-masing. Hari Senin, kelas XII IPA 1 diisi dengan pelajaran olahraga.

Habis upacara yang membuat tubuh kita panas dan setelah itu akan ada pelajaran olahraga yang sebelum mulai pasti kita akan di suruh memutari lapangan basket dua kali. Itu adalah hal yang memuakkan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 16, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RAILOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang