Bibirnya terkelupas, pecah-pecah, berdarah. Kerongkongannya kering, mirip sungai di dekat rumah nenek waktu musim kemarau. Lalu, mengalir, mirip tangis malam yang meneror tidur-tidur mereka. Choi Yeonjun mengusap darah di bibirnya dengan lidah.
"Seharusnya hari ini turun hujan, kan?" Kuku-kuku Yeonjun menggaruk pegangan kursi kayu yang kakinya tegak di atas rumput halaman rumah. Ia tatap pohon di sana, yang rantingnya nyaris cakar habis awan itu. Terlalu tinggi, tetapi, bagi Yeonjun, akarnya yang adalah sumber hidupnya tetap berada di bawah. Diinjak tanah.
Hueningkai anggukkan kepala kecil, lantas ikut dongakkan kepala ke atas, tetapi ia malah paku atensinya pada langit-langit ketimbang ranting pohon. Katanya, "Otakku tak bisa berhenti bilang kalau langit sedang bergemuruh, tetapi sekarang justru matahari terlalu terang untuk sembunyikan diri. Menurutmu, mana yang benar, Choi Yeonjun?" Hueningkai nyaris tertawa. Ingin tertawa. Tapi tak bisa, sebab ia yakin bahwa Choi Yeonjun hanya akan diam dan tak keluarkan sepunguk kalimat pun kalau ia benar tertawa.
Yeonjun menjilat bibirnya lagi kendati darah tak lagi keluar. "Seperti yang kamu lihat, Kai. Tidak hujan." Ia tak palingkan wajahnya ke arah Hueningkai yang duduk di kursi kayu sebelahnya, tetap fokuskan pupilnya pada batang juga ranting pohon di atas sana.
Pemuda itu, yang rambutnya kini tak pernah ditiup angin lagi itu, Hueningkai, meringis, kemudian tertawa. Kecil sekali, benar-benar sulit untuk didengar kalau tidak oleh diri sendiri. Hueningkai ingin sekali hantamkan kedua kepalan tangannya pada bahu--atau ke mana saja, terserah--milik Yeonjun kalau saja ia lupa cara kerja dunia. Tidak, Hueningkai, percuma keluarkan tenaga yang kini telah sirna itu. Jadi, yang dapat ia lakukan pada detik ini adalah keluarkan serangkaian kalimat tajam seperti "payah, Kak. Kakak tahu kalau bukan itu yang kumaksud."
Benar kata Hueningkai, semuanya tidak sedangkal itu. Tetapi Choi Yeonjun malah menjawab dengan wajah yang sungguh menyebalkan (menurut Hueningkai), "Lantas apa maksudmu, Bocah? Dan, oh, jangan coba-coba untuk memukulku. Meski tak bisa dilakukan pun, itu tindakan tanpa pendidikan."
Lalu ditutup. Dialog mereka berhenti begitu saja. Sebab Hueningkai tidak lekas menjawab. Ia diam seperti bisu, tetapi sama sekali tidak mencoba untuk menjawab Choi Yeonjun yang lantas juga ikut diam. Mereka diam menunggu hingga Hueningkai akhirnya buka suara saat matahari nyaris injakkan kaki di peraduannya, "Kak, ayo masuk ke dalam. Udara makin dingin."
"Baik. Ayo masuk ke dalam rumah." Dan wajah mereka masih kelabu.
Lantas, mereka pulang ke rumah.
Langit terlihat jauh lebih gelap tatkala Choi Yeonjun akhiri sikatan pada giginya. Kemudian, kakinya menginjak lantai dingin kamarnya. Ainnya mendapati Hueningkai yang duduk di sofa kecil memghadap ke jendela tanpa tirai. Lalu, Choi Yeonjun berjalan ke arah kasur yang tak jauh dari sofa kecil itu.Hueningkai berbalik, menghadap kasur ketika decit lantai kayu tandakan bahwa presensi Yeonjun hadir. "Sudah selesai ini-itu?"
"Ya. Kalau minum teh dan sikat gigi itu masuk dalam 'ini-itu', maka, ya, sudah selesai," jawab Yeonjun yang sudah selimuti tubuhnya sendiri. Matanya menatap lurus pada langit-langit kamar yang membosankan, yang warnanya abu-abu, padahal seharusnya warnanya putih tulang saja.
"Kak." Hueningkai kembali hadapkan kepala pada luar jendela.
"Apa?"
"Mau dengar dongeng sebelum tidur?"
"Terserah."
Hueningkai mengusap wajahnya pelan. Lalu mulutnya terbuka. Ia bicara. "Ada seorang anak yang terbangun dengan tanduk di kepalanya. Ia terkejut, takut, lantas lari dari peradaban, menuju hutan." Hueningkai berhenti sejenak. Lalu, bicara lagi. "Sampai di situ saja. Kalau begitu, aku ingin bertanya. Manusia bertanduk, masih bisa kah disebut manusia?"
Choi Yeonjun tidak menjawab meski matanya tetap terbuka. Ia terus-menerus diam, bak tak tahu jawaban. Padahal Yeonjun tahu. Tahu atau mungkin yang paling tahu. Tetapi ia malah menciptakan hening yang hinggapi rungu-rungu mereka hingga akhirnya salah satu buka suara.
"Ya," kata Hueningkai. "Menurutku, mereka masih dan adalah manusia. Kakak adalah manusia."
"Meski terlahir dari seorang kriminal gila?" Yeonjun ingin sekali marah, geletukkan giginya keras.
"Ya, meski terlahir dari seorang kriminal gila." Hueningkai tiba-tiba dapat rasakan kekecewaan yang tertanam dan menduri di dalam sana. "Kakak adalah manusia. Maka dari itu, seharusnya Kakak tetap menghargai diri Kakak sendiri."
Choi Yeonjun merasa pening. Kendati demikian, bibirnya tak bisa berhenti untuk lontarkan kalimat yang jelas sekali akan buat pemuda yang bagai adiknya itu kecewa setengah mati. "Lalu, mengapa dulu kamu melukai dirimu sendiri?"
"Aku tidak benar-benar memiliki alasan untuk itu. Itu hanya ... hal bodoh tak beralasan yang kulakukan. Meski sempat berhenti, nyatanya aku pun sudah terlambat." Hueningkai tersenyum. Pahit seperti kopi. Tetapi, sebenarnya kopi tidak pernah terasa sepahit ini. "Tetapi Kakak belum. Kesakitan Kakak memang ada ekstensinya, tetapi masih belum terlambat. Masih bisa bertahan."
Memang, benar. Seharusnya, Choi Yeonjun masih bisa bertahan kendati luka di pergelangan tangannya terlalu dalam. Tidak, tunggu. Choi Yeonjun harus bertahan. Soalnya, sel-sel kulit akan tumbuhkan jaringan baru, dan luka-luka itu akan mengering, dan senyum yang baru akan terbit di bibirnya yang sejak dulu sendu. Hueningkai berharap bisa begitu.
"Pendapatmu kuhargai, Bocah."
Hueningkai tak bisa berhenti tersenyum ketika dengkuran kakaknya masuk ke rungunya. Kakinya berdiri, lalu tangannya membuka jendela. Katanya, "Sampai jumpa, Kak."
Hueningkai pulang.
Tetapi, Choi Yeonjun menetap.
~
Note: ini apa woy XD
Ga tau ya, lagi mood nulis tema yang mirip Alas Kaki Kita Rubuh. Cocok ga, sih, tokoh yang kupakai? Aku pakai yang dari mv Nap of the Star, sih. Btw, stream Heartbeat bcs its gut. No. Its froggin' great.Hei, masih sering begitu? Anyway, ini jawabanku. Aku Hueningkai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wajah Kelabu Mereka
Hayran KurguLihat wajah kelabu mereka, yang tiap sekon timbun cuka lalu taburinya ke luka.