Daydreaming Part 1

12 2 0
                                    

Ketika kulihat wajahnya, itulah ketika kutahu kalau waktuku sudah habis.

***

31 Desember 2017

Tahun baru sudah sangat biasa bagiku. Bukannya aku merayakan, tetapi memang semuanya sangat biasa bagiku. Aktifitas sosial, fisik, dan pikiranku tak ada yang spesial —begitu juga perayaan nasional. Malam itu, di sebuah bangku taman seorang pemuda berumur 19 tahun, yang mana adalah diriku, duduk sembari meneguk secangkir kopi dari Indomaret. Seraya kembang api menghiasi langit dengan gemuruh, orang-orang bergembira menyambut datangnya tahun baru.

1 Januari 2018

Jam satu malam, langkah kaki membawaku menuju kosan yang terletak di daerah yang agak terpencil. Melewati gang-gang kecil nan gelap, aku tidak menghiraukan keadaan sekitar. Bukannya tak takut, dulu memang, melainkan lebih terbiasa akan keadaan ini. Pulang jam satu sudah merupakan rutinitasku ketika masuk kuliah. Yang kulakukan setiap hari sepulang kuliah adalah ngopi di sebuah kafe dekat kampus. Sendirian.

Ngomong-ngomong kafe itu memang sepi karena kalah oleh tempat nongkrong yang ada tak jauh dari situ. Memang, makanan dan tempat duduk yang disediakan oleh tempat nongkrong itu lebih enak. Namun, menurutku, kafe itu jauh lebih nyaman karena sepi. Mungkin akan lebih baik jika kafe itu tetap sepi.

Ketika aku berpikir tentang kafe yang biasa aku datangi, terjadi sesuatu yang aneh. Biasanya, pada jam ini, gang ini selalu sepi, bahkan preman pun tak ada. Namun, tepat di dalam pandanganku —dan bukan ilusi yang diciptakan oleh otakku— seorang wanita tengah mencoba berdiri sembari menyenderkan tubuhnya ke tembok. Semakin aku mendekat, semakin jelas ciri-ciri wanita itu. Ia berambut panjang hitam, berkulit putih langsat, bergaun merah muda pendek, dan bersepatu flat shoes. Ketika kulihat wajahnya, matanya agak bulat dengan iris berwarna hitam kecoklatan, hidungnya agak mancung, bibirnya agak tipis, dan kemungkinan umurnya sekitar 20 tahun.

Jika kau berpikir aku akan menolongnya, tebakanmu benar. Jika kau berpikir aku jatuh cinta, tebakanmu salah —dan apa yang aku katakan bukanlah poetic justice. Aku menolongnya karena wajahnya terlihat pucat. Ia benar-benar kesulitan bediri. Beberapa kemungkinan muncul dalam benakku. Namun, kucoba untuk berpikir jernih dengan memercayai kemungkinan kalau wanita ini sedang mabuk.

***

Bayangkan, dalam keheningan malam, seorang wanita tidur di kamarku yang kecil. Tubuhnya terbaring lemas di atas kasur. Sesekali ia mengigau, yang bisa saja didengar oleh penghuni kamar sebelah dan menimbulkan kesalahpahaman.

Malam berlalu. Separuh bagian dari matahari mulai menyinari kota Jaya. Aku, yang baru saja kembali setelah membeli nasi goreng dari depan gang kosan, tengah berdiri membelakangi pintu ketika wanita itu membuka matanya dengan lesu.

"Dimana aku?" tanyanya dengan suara lembut seraya melihat keadaan sekelilingnya yang tidak familiar. Kemudian ia melihatku. Kami berdua terdiam untuk, mungkin, semenit. Seperti sudah menyadari keadaannya —yang mana belum tentu benar—, ia hampir berteriak. Aku segera mencoba untuk menenangkannya.

"Tunggu! Aku bisa menjelaskannya," ucapku dengan panik.

Tatapannya tidak begitu yakin akan ucapkan. "Jelaskan!" bentaknya dengan lembut.

Aku pun menjelaskan keadaannya. Pulang dari taman kemudian menemukannya hingga membawanya ke kosanku.

"Aku tidak per—"

"Aku juga."

Ia melihatku dengan tatapan sinis. Sepertinya, ia kesal karena aku memotong ucapannya. Disamping itu, harus kuakui kalau dia memang cantik terutama ketika ia menatapku sinis.

"Aku ingin pergi dari sini!" Ia mencoba untuk berdiri. Namun, sepertinya dia masih terkena efek mabuk bila memang ia mabuk.

"Silakan," ucapku sembari menyingkir dari jalan keluarnya. "Jika kau tahu ke mana jalan pulang ataupun jika kau memang tahu kau sedang ada di mana."

Random Thoughts of MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang