Daydreaming Part 2

8 2 0
                                    

Aku tak percaya, bahwa selama ini hal yang aku lihat hanyalah kebohongannya.

***

Aku duduk dengan kopi favoritku di balkon rumah Diva. Terdengar beberapa percakapannya dengan Aliani dari dalam ruangan. Sepertinya, Diva akan memberinya tumpangan selama beberapa hari.

"Aku setuju nampung dia." Diva muncul dari belakangku.

"Makasih." Aku tersenyum padanya sembari menurunkan cangkir kopi yang baru saja kuseruput.

"Gak usah makasih kayak gitu." Ia menyimpan cangkir berisi teh ke atas meja kecil diantara kami. "Aku cuma ngasih dia tempat untuk sementara. Sisanya, kamu yang harus urusin." Ia duduk di kursi kosong di sebelah meja kecil tersebut.

"Itu udah cukup kok," ucapku setelah menyeruput kopiku. "Masalah gali rahasia aku bakal serahin ke Diki. Dia kan ahlinya."

"Masih aja gaul sama dia? Coba cari orang yang agak normal dan punya masa depan!" Ia menaikkan nada bicaranya.

Aku diam tak membalas keluhannya. Ia menatapku dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Aku maunya gak peduli sama kamu. Tapi aku gak bisa! Aku tetep peduli!"

Aku semakin diam. Bendungan di matanya sudah pecah dan air mata mulai membasahi pipinya. Ia mulai menangis. Isakannya membuatku terdiam dan merasa bersalah karena sudah memutuskan hubunganku dengannya. Bukannya aku menganggap pacaran tidak serius atau kebalikannya. Ada satu alasan yang tak ingin kuingat –setidaknya tidak untuk saat ini. "Maaf" hanya itu kata yang keluar dari mulutku. Isakannya perlahan berhenti. Ia mulai mengusap mata dan pipinya untuk menghilangkan bekas tangisan.

"Ya, lagipula, aku udah bukan siapa-siapa lagi. Ngapain juga aku nangisin kamu." Suaranya bergetar. Aku yakin dia masih menangis. Namun, senyumnya mencoba untuk menyembunyikan hal itu. "Sekarang, kamu udah punya pacar baru dan aku ngebantuin dia untuk kamu."

"Tunggu." Aku segera menyimpan cangkirku ke atas meja. "Dia bukan pacar aku. Gebetan aja bukan."

Momen selanjutnya diisi oleh Diva yang tak percaya akan apa yang baru saja ia dengar. Aku menjelaskan semua padanya. Mulai dari ketika aku menemukan Aliani hingga pada akhirnya aku memilih untuk meminta bantuan Diva.

"Baguslah kalau begitu," balasnya sembari cemberut. "Jadi aku gak perlu ngehubungin kamu atau pun ngebantu kamu, kan?"

Moodnya berubah drastis. Aku tak mencoba untuk memahami mengapa hal ini bisa terjadi. Asumsi-asumsi yang memenuhi pikiranku sangat mengganggu. "Kayaknya kamu tetep perlu berhubungan sama aku. Soalnya aku mau balikin dia ke asalnya. Bakal ribet juga kan kalau dia tinggal di sini kelamaan?"

"Iya sih, tapi kita gak perlu komunikasi yang intens banget."

"Cukup kabarin aja kalau emang perlu. Itu udah cukup, kok."

Angin tiba-tiba berhembus hingga membuat rambut Diva terurai dengan indahnya. Meski hanya beberapa detik, namun aku seolah melihatnya dalam beberapa menit. Hal ini semakin membuatku ingin menjaga kecantikan itu. Hal itu berarti aku harus segera menjauh darinya. Ya, aku harus menjauhi Diva agar ia aman dariku.

"Kalau gitu, udah jelaskan masalahnya. Aku hanya butuh beberapa hari aja buat nyari alamat rumahnya. Aku balik dulu ke kosan ya." Aku langsung melangkah pergi tepat setelah pamitan dengannya. Namun, langkahku tertahan ketika tubuh seseorang menekan punggungku dan sepasang tangan mengikat pinggangku. Ia memelukku dengan sangat erat seolah berkata "jangan tinggalkan aku".

Aku menggenggam kedua tangan itu. Kemudian, aku tarik hingga pelukannya terlepas. Ia melepaskan pelukannya. Kemudian aku berputar dan memeluknya balik. Ia terkaget akan hal ini. Namun, kemudian ia mengatakan terima kasih seraya memelukku dengan begitu erat.

Random Thoughts of MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang