Dream Journal: Malam Setan

9 1 0
                                    

Semua bermula ketika aku tengah berjalan di bawah sinar rembulan bersama ayah. Kami melangkah menelusuri sebuah jalan setapak yang menanjak. Keadaan cukup kering. Semak-semak dan berbagai macam tanaman menghiasi perjalan kami malam itu. Juga, selain oleh cahaya bulan, penerangan kami dibantu oleh sebuah lampion besar yang terbuat dari kanvas putih dan diikatkan ke sebuah gagang terbuat dari kayu. Lampion itu cukup berat, tapi aku terus membawanya. Agar tidak bosan, aku mengayun-ayunkan lampion itu.

Perlahan, kami sampai di puncak jalan setapak. Segera, sebuah pemandangan yang indah terhampar dihadapan mata kami. Cahaya gemerlap dari lampu-lampu di kota Bandung menghiasi pemandangan yang kulihat. Untuk sebentar, aku takjub. Kemudian, aku melihat sesuatu. Sebuah lampion yang sangat besar terlihat dari arahku. Mereka muncul di tiga sisi kota Bandung. Cahayanya membuat kota Bandung semakin terang.

Kami segera melanjutkan perjalanan. Dari balik rerumputan yang tinggi, aku melihat dua orang sedang menatap ke arah kota Bandung sama sepertiku tadi. Seorang anak perempuan berumur 11 tahun mungkin dan seseorang yang menggunakan baju biarawati berwarna putih. Mereka pun mengangkat dengan perlahan lampion yang sama persis seperti punyaku. Kemudian, mereka menatap ke arahku.

"Kok yang satu itu menari-nari?" tanya sang anak ke ibu itu sembari menunjuk ke arahku.

"Ibu tidak tahu, nak." Sang ibu memegangi pundak sang anak.

Mencoba mengerti maksud mereka, aku memalingkan wajahku ke belakang. Aku melihat sekumpulan orang dengan beberap lampion sedang berdiri mengitari jasad seseorang yang berbaring di tanah. Aku tak melihat hal yang aneh. Tapi, aku samar-samar mendengar bacaan doa dari orang yang berdiri mengitari jasad itu.

Masih penasaran maksud anak itu, aku menghentikan ayunan lampionku. Entah kenapa, aku penasaran dengan apa yang ada di dalam lampionku. Sambil berjalan dengan pelan, aku mulai menatap lampion. Aku memencet-mencet lampion itu untuk mendorong sumber cahaya ke dekat kanvas putih yang membungkusnya. Perlahan, terlihat bayangan sesuatu dari lampion itu.

Alangkah kagetnya ketika kulihat apa yang ada di dalam lampion itu. Aku terdiam dan membeku ketika menyadari apa yang baru saja aku lihat. Sebuah wajah berwarna merah dengan mata yang bulat melotot kearahku muncul. Mulutnya menyeringai sangat lebar dan memerlihatkan kedua ... keempat taring yang menonjol keluar sangat panjang. Rambutnya yang acak-acakan dan tanduk yang menyembul keluar dari dahi mereka mengingatkanku pada topeng setan yang sering aku lihat.

Aku segera menjauhkan lampion itu dariku tapi tak melemparnya. Aku masih memegangnya tapi tak mau berhadapan dengan sesuatu di dalamnya. Kemudian, aku bertanya pada ayah di sampingku.

"Yah, isi lampion ini apa?"

Tak ada jawaban.

"Yah!"

Masih tak ada jawaban.

"Ish." Aku yang kesal menggerakan lampionku pada tubuh ayah.

Tak kusangka, ketika lampion itu menyentuh tubuh ayahku, tiba-tiba ia berteriak kepanasan. Asap keluar dari tubuhnya dan ia mulai menggeliat. Aku terkaget ketika tubuhnya mulai berubah. Kulitnya meleleh, wajahnya tiba-tiba mengkerut dan mulutnya tiba-tiba menganga. Tanpa aba-aba, aku langsung berlari.

Jalan tapak yang aku telusuri berada di samping sebuah lapang berumput. Di sana, aku melihat sekumpulan orang dengan lampion yang sama sepertiku sedang berkumpul. Aku melihat secara sekilas ketika mereka sedang berdoa dan ayahku menancapkan paku pada dada sebuah mayat. Tiba-tiba mayat itu menggeliat dan perlahan, sebuah asap muncul dari mulutnya. Kemudian mayat itu pun kembali terdiam. Semua orang mulai berpencar kembali dan bergerak ke sebuah rumah yang terlihat sudah hancur.

"Di sana yang paling kuat." samar-samar aku mendengar percakapan salah satu orang dengan ayahku sembari menunjuk rumah itu.

"Ayah!" Aku menghampiri ayahku.

"Ada apa?" tanya ayahku

"Tadi aku," ucapku sembari menempelkan lampionku pada ayah takutnya dia setan juga, "ketemu setan yang mirip ayah."

"Jangan melamun!" Ayahku segera melangkah masuk ke dalam rumah itu.

Keadaan rumah itu benar-benar berantakan. Puing-puing bangunan berserakan hingga menutupi beberapa pintu. Debu dan sarang laba-laba menjadi ornamen yang paling banyak menghiasi tempat ini.

"Itu."

Seraya aku melihat melalui sebuah jendela, figur seorang laki-laki tengah melayang dengan postur tegap mematung dengan kepalanya menunduk di tengah ruangan yang minim cahaya. Entah mengapa, suasana yang aneh, seperti dingin yang menusuk, angin yang tidak biasa, dan suara-suara aneh yang terdengar membuat bulu kudukku merinding.

Orang-orang di sekitarku mulai berkomat-kamit memanjatkan doa. Entahlah, aku tak mengerti doa mereka karena mereka berdoa dengan menggunakan bahasa arab. Suasana malah semakin mencekam karena beberapa puing-puing bangunan tiba-tiba bergetar.

Sesuai dengan komando ayahku, segera lampion kami di arahkan ke arah figur yang berdiri itu. Getaran semakin terasa. Di saat itulah, suara besar, berat, dan mengerikan terdengar oleh kami semua. Kulihat wajah orang lain dan mereka semua ketakutan setengah mati.

"Sia moal bisa newak aing (Kalian takkan bisa menangkapku)!" bentak suara itu.

"Cicing maneh. Teu sapadosna sia aya di dunia ieu! Balik sia! (Diam! Tidak sepantasnya kau berada di dunia ini! Balik sana!)" balas salah satu tetua adat yang ikut.

Kemudian, terjadilah percakapan hebat antara mereka menggunakan bahasa sunda kuno yang tak aku mengerti. Namun, bentakkan demi bentakkan membuat suasana semakin mencekam. Satu hal yang dapat kumengerti. Setan itu berkata, "akan ada hari di mana manusia yang tunduk pada-Nya akan berjalan menyimpang dari jalan yang lurus. Dan malam ini adalah pertanda akan datangnya hari itu."

Kemudian setelah perdebatan panjang antara mereka berdua, sebuah puing jatuh menghalangi kami. Segera, seluruh orang yang ada di situ beserta pembawa lampion mencoba masuk. Kami tercengang melihat apa yang terjadi.

Dia menghilang.

Tiba-tiba terdengar teriakan dari luar rumah itu. Kami segera berlari ke luar dan kembali ke lapangan. Seseorang tengah kesurupan dan menggeliat di tanah. Dua orang dengan lampion yang lain tengah menjaganya.

Kemudian semua orang kemudian berlari ke arahnya dan mencoba untuk mengusir setan dari tubuhnya. Semuanya panik dan keadaan menjadi kacau.

Dan ketika keadaan semakin kacau, sesuatu terjadi.

"Nak, pergi!" perintah ayahku.

Aku pun berlari. Semua hal terjadi dengan begitu cepat. Getaran besar terasa mengguncang bumi. Semua orang panik. Tiba-tiba semua menjadi gelap.

Random Thoughts of MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang