10 - Mutiara

3K 477 56
                                    

Selembar foto polaroid di atas halaman buku harian menerbangkan lamunan Asti ke masa delapan tahun lalu. Keakraban bersama Jesse tak dapat dipungkiri. Tiga tahun bersama-sama mengerjakan PR atau tugas sekolah dan OSIS, individu maupun kelompok, tak pernah meluputi ingatan Asti tentang julukan pasangan favorit di sebuah SMA negeri daerah Setiabudi, Jakarta Selatan, tempat mereka menimba ilmu.

Asti bercita-cita menjadi guru TK, menyulut ambisi untuk menenangkan mimpi orang tua yang menginginkannya bekerja di rumah sakit sebagai dokter, membuktikan bahwa semua anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak, hingga berjuang tekun di kota pelajar dan tinggal mandiri selama empat tahun. Tentu, Jesse tak mudah memberi kata setuju. Semula, mereka sepakat mengenyam pendidikan medis di spesialis berbeda, mengapa berbanding terbalik?

Namun, keyakinan Asti perlahan menyurutkan niat Jesse untuk mengenal dan menyimpan lekat nama gadis itu dalam jiwa. Berganti pada sosok ramah, kuat, tak kalah nyentrik serta bijaksana bernama Nira, si adik tambatan hati pertama Jesse.

Asti tahu, Jesse sungguh-sungguh kepada Nira. Bahkan setelah ia kembali dari Yogyakarta selepas wisuda, Asti merasa lega karena Jesse tak berharap penuh lagi padanya.

Satu pertanyaan besar, bagaimana bisa Jesse mengatakan bahwa ia masih mencintai Asti? Lalu Nira? Ke mana akal sehat lelaki itu ketika mau tak mau Asti juga sulit menampik kalau Jesse memang cinta pertamanya?

Boleh mengaku, tapi lihatlah kondisi dan situasi. Kini Asti diliputi bimbang setengah mati, dibelainya gambar dua manusia berlawan jenis, berseragam SMA tercoret-coret pewarna kimia pasca pengumuman ujian nasional.

Asti menangis menyesal karena terpaksa mengkhianati perasaan sendiri demi masa depan cinta Nira.

Sembari mengusir kasar air di pelupuk mata memakai punggung tangan, Asti menutup buku harian itu, melemparnya ke atas meja.

Sebab Jesse bukan lagi cinta pertama, melainkan bukti tentang adanya hati Asti tertinggal di sana sejak lama.

"Mbak," Nira mengetuk-ngetuk pintu kamar dua kali.

Asti buru-buru bangkit. Ia mengelap wajah dengan lengan dasternya, lalu membuka pintu disertai senyum.

"Kenapa, Dek?"

"Lho, Mbak Asti nangis?" Secepat itu Nira mengetahui jejak semburat merah di bola mata dan pangkal hidung Asti.

"I-iya, tadi lagi denger podcast romantis begitu deh jadi kebawa. Hehe.."

"Ooh, kirain kenapa. Aku izin keluar dulu ya, Mbak, sama Mas Jesse. Bapak sama ibu tadi telepon, baru bisa pulang jam 12-an. Aku tadi juga udah bantu gorengin ayam sama bikin capcay. Dimakan ya, Mbak. Hehe.. tapi maaf kalo agak asin. Bibi Sum udah tidur duluan soalnya, nggak enak ganggu."

Alis Asti menukik seketika. "Oke. Mbak nanti makan. Tapi, Nira, kamu nggak salah pergi keluar sama Jesse jam delapan begini? Jangan mentang-mentang kamu baru selesai sidang tadi siang terus main-main malemnya, nggak sayang apa sama kesehatanmu sendiri?"

Terhenyak batin Nira mendengar Asti agak membentak. Lantas Nira mengatupkan bibir dalam-dalam, memandang Asti takut.

"Kamu udah makan?"

"Baru aja selesai makan bareng Mas Jesse. Aku panggil Mbak Asti biar ikut makan sekalian, malah Mbak nggak jawab. Kirain tidur. Terus, ya ini.. Mas Jesse ngajak jalan-jalan deh ke pasar malem. Sebentar doang kok, Mbak.. sebelum jam sepuluh aku usahain udah pulang."

Asti menggosok rambutnya kasar, bibirnya tak lupa tergigit pelan.

"Nira, tolong kamu dengerin Mbak kali ini, ya? Besok Sabtu kamu boleh ikut Mbak sama Jesse ke resepsi pernikahan temen kita, tapi khusus malam ini, Mbak cuma izinin kamu sama Jesse di rumah sampe jam sepuluh aja. Paham?"

LARASATI [Proses Penerbitan] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang