12 - Rotasi

2.8K 482 108
                                    

"A-apa, Mas?"

"Aku bahagia sama kamu, tapi aku nggak bisa di sampingmu lagi, Ra. Aku mau kamu baik-baik aja, meski aku nggak menginginkanmu lagi." Jesse menutur lancar seraya melonggarkan peluk, memberi ruang untuk Nira bernapas.

"Mas Jesse."

"Kita cukup sampai di sini, Ra."

Pergi meninggalkan seorang wanita muda sendiri di jembatan kala malam menjelang larut, bisa dibilang adalah tindakan paling pengecut seumur hidup Jesse. Namun sebelum menghujat, pahamilah bahwa Jesse mengenal Nira sejak gadis itu mengenakan seragam putih biru. Mengajaknya pulang dan berbicara dari hati ke hati bukanlah ingin Nira.

Nira selalu menyuruh semua orang menjauhinya ketika perasaan tak enak menyergap, sama seperti sekarang. Meski tak rela, Jesse terpaksa masuk mobil, mengendarainya menuju rumah Nira. Ia siap bila bapak, ibu, atau Asti menjadikannya samsak.

Pandangan Nira tak lepas dari gelap deras sungai di bawah. Ia tahu, bunuh diri tidak akan menyelesaikan masalah hidup. Ia merasa cerdas, walau terus berprasangka bahwa ucapan Jesse tadi hanya mimpi belaka.

Semestinya Nira dari awal tidak perlu menerima cinta Jesse, karena lelaki itu cuma mau Asti.

Sebersit duka Nira menyadarkan, tanda-tanda putus hubungan tercium enam bulan ini, mengapa rasa sakitnya baru memilu?

Dengan tangan gemetar, Nira mengambil ponsel dari dalam sling bag hitam.

"Za," Nira menelepon sang sahabat. "Lo lagi di rumah?"

"Gue dateng ke sana sekarang kira-kira ganggu, nggak?"

"Gue butuh lo, Za."

Nira memutus transmisi sebelum Mirza bertanya lagi. Tubuhnya merosot bersandar ke pagar pembatas, Nira menangis tersedu-sedu tanpa menghiraukan tatapan prihatin orang-orang yang lewat.

"Mas, aku minta maaf kalau selama ini nggak bisa jadi apa yang kamu mau, nggak bisa gantiin posisi Mbak Asti di hati kamu. Tapi tolong jangan tinggalin aku.." lirih Nira pedih, tak sengaja bersuara di ponsel yang ia genggam ketika ibu jarinya menggeser ikon hijau.

Memperbolehkan Mirza mendengar alasan jujur itu.

"Kanira."

Gadis itu mengangkat kepalanya linglung. "M-Mirza?"

"Nir, share location kamu sekarang!"

***

Starbucks Sarinah pukul sebelas malam, di antara hening hati dalam ramai, Mirza setia menggenggam tangan Nira. Menguatkan setelah tangis Nira mereda.

"Kamu mau minum?" Mirza menawari. "Tapi jangan kopi, ya. Kamu baru minum soda tadi, vanilla black tea latte aja, mau?"

Mirza memang teman satu jurusan Nira, beberapa semester sering satu kelas bareng. Maka jika melihat kelemahan Nira, Mirza tidak dapat berbuat apa-apa selain menenangkan Nira, meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.

Selagi mengantri, pikiran Mirza berkecamuk. Mungkin ice caramel chocolate lebih dibutuhkan Nira dibanding Mirza sendiri.

"Buat cewek cantik yang lulus cum laude." Kata Mirza setelah hampir tiga menit berlalu, menyodorkan segelas minuman yang membinarkan cahaya netra Nira.

LARASATI [Proses Penerbitan] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang