15 - Cendana

2.8K 454 137
                                    

Penthouse berlantai empat di kompleks apartemen Pakubuwono adalah alasan mengapa mulut Nira menganga sejenak. Bukan main-main, perusahaan yang terbilang sukses di bidang konstruksi pelayaran, pelestarian lingkungan kelautan, dan sumber daya perikanan, yang digadang-gadang sebagai masa depan maritim tanah air menurut artikel Forbes UK, menjadikan Nira bak upik abu hilang di negeri antah berantah. Ia takut sepatu murahnya dari Passer Baroe mengotori marmer mahal ruang tamu itu, tidak se-inci pun ia berani menyentuh daun pintu yang dijaga oleh seorang ajudan.

Gila, Cakra tinggal sendiri di tempat mewah begini?!

"Hmm.. K-Kak, ini Laras mau tidur di kamar mana?" Wajah Nira agak memucat memandangi karya lukisan Alexander The Great terpampang di bagian utama ruangan, setelah Cakra menggantungkan jas di sebuah tiang pengait di sudut ruangan.

"Lantai dua. Kamarnya di pojok kiri, pintu warna biru." Tunjuk Cakra santai ke atas.

Laras sendiri nyaman terbuai mimpi dalam gendongan Nira, tidak peduli degup jantung gadis itu menghentak hebat. Karena baru pertama kali ia mengunjungi kediaman keturunan aristokrat, mungkin?

Ah, kau juga berdarah aristokrat jawa, Nira. Untuk apa gugup berlebihan?

Seorang wanita muda yang tampaknya merupakan pengasuh anak, mengambil alih Laras dari tangan Nira. Membawa masuk ke kamar, menidurkan si kecil di ranjang empuk bertema kartun bus Tayo, tak lupa berterima kasih pada Nira.

Sungguh hari yang panjang, melelahkan, memutar otak, namun Nira memahami niat Allah menghadirkannya ke jalan ini. Bisa jadi, ia harus terang-terangan mengikhlaskan Jesse.

Yang secara sederhana, itu takkan mungkin terjadi.

Menuruni tangga, Cakra sudah mengganti baju dengan setelan versi santai. Gestur tangan pria itu menyuruh Nira duduk di sampingnya, tepat saat seorang asisten rumah tangga menyediakan satu teko kecil dan dua pasang tea cup, saucer, serta tea spoon bersepuh emas.

"Peppermint tea." Cakra menginformasikan. "Supaya kamu lebih tenang. Mau white sugar or brown sugar?"

"White sugar, please."

Ketika pemanis itu telah teraduk larut oleh sendok di tangan Cakra, Nira lalu menikmati minuman itu.

Mereka dibawa hening selama hampir satu menit.

"Laras tidur nyenyak?" Basa-basi klise, tapi mampu menyemat senyum di bibir Nira.

"Iya, kasihan dia pasti capek banget. Jalan kaki ke rumah Mirza, kuajak pulang ke rumah, ikut ke resepsi kawinan, baru ke rumah Kakak. Maaf."

"Nggak masalah, mungkin ini memang udah waktunya."

Nira meletakkan cangkir itu hati-hati ke atas meja, menatap curiga si lawan bicara. "Jadi, bisa tolong kasih tau Nira? Laras itu siapa, Kak?"

"Anakku dan kamu, Nir."

"Wah.. semakin ngaco abad ini.. aku udah punya anak di umur 20, baru putus, belom wisuda, masih pengen seneng-seneng pula.." Nira mendesah di tengah gurau. "Nggak sekalian kamu bilang kalau kita ini suami istri, Kak?"

"Memang." Cakra mengiyakan singkat.

Lelah menghadapi lelucon Cakra yang kini tertawa terbahak-bahak, Nira tiba-tiba berdiri tegap. Luruh emosi menyerang.

"Saya lebih baik pulang ke rumah dan melupakan mimpi buruk seharian ini," sentaknya gusar.

Sadar telah berkata di luar batas, tangan kokoh Cakra berusaha menahan lengan Nira.

"Sebentar, Nira. Maaf, bukan itu maksud saya. Tolong jangan pergi dulu."

"Kak, saya memang nggak bisa jelasin alasan kenapa saya tadi nangis di depan Kak Cakra. Tapi tolong ngerti, saya capek fisik, lahir, batin. Seharian! Nggak ada satu orang pun mau ngertiin saya, bahkan orang tua dan kakak saya sekali pun! Sekarang Kak Cakra dan Laras mau bercandain saya, di tengah kondisi saya yang lagi mau move on tapi nggak pernah bisa? Sadar nggak kalo candaan ini nggak berguna?!"

LARASATI [Proses Penerbitan] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang