13 - Bunda

2.7K 431 11
                                    

"Bundaaa.. ayo kita pulaaannggg.. huhuu.. Laras kangen Bundaaa.."

Rengekan manja di teras rumah itu mengagetkan tiga orang penghuni yang kini saling melempar tatapan horor. Langit membiru cerah, mentari terik bersinar, tidak mungkin ada penderita penyakit jiwa berusia dini terdampar tanpa sebab.

Sebelum dijadikan bahan gosip tetangga setiap pagi saat tukang sayur berkeliling kompleks, Mirza mencoba menarik napas sabar. Berjongkok membelai kepala anak bernama Laras itu perlahan, lembut, menenangkan.

"Laras, mau masuk ke dalam dulu, nggak? Kita ngobrol sama Bunda kamu, terus cerita-cerita. Gimana?"

Tak dinyana, Laras mengangguk-angguk kecil. "Iya, Om Mija."

Memaklumi bahasa cadel Laras, Mirza refleks tersenyum bangga seraya memainkan pipi anak itu. Tambah paniklah Ferdi, jangan-jangan Laras juga mengenalinya?

"Anjir, dia tahu nama lu, Bang! Eh, Dek. Tahu nama Om juga, nggak?"

"Tahu. Om Ferdi. Yang suka genitin bu guru di kelas, kan?"

Tawa ngakak Mirza dan kerucut bibir asam Ferdi menyatu mengisi kesunyian suasana rumah, meninggalkan sejuta tanya di otak Nira.

Tidak masalah jika memang Laras menyangka dirinya adalah sang ibu. Namun, Cakra? Siapa nama Cakra yang Laras maksud? Kalau pun Nira berspekulasi, ia pasti merasa dirinya sudah gila.. mabuk dilarutkan cinta buta Jesse hingga mengira bahwa Ayah Cakra itu adalah atasan baru di kantornya Senin depan.

"Bunda?" Tangan Laras menarik ujung kemeja Nira lagi, menyadarkan gadis itu untuk kembali tersenyum padanya.

"Ayo masuk, Bun. Disuruh Om Mija."

"Iya, Laras mau jalan sendiri atau digendong?"

Dengan dimulainya rentangan tangan Laras yang melebar, Nira langsung berjengit paham bahwa ada kontak batin terjalin di antara mereka. Nira lalu mendekap tubuh Laras, membawanya masuk ke ruang tengah yang telah disulap Ferdi menjadi warung dadakan berhubung seluruh cemilan di lemari dapur dikeluarkan Mirza.

Berbekal ilmu sok tahu Ferdi, Mirza setuju bahwa mereka wajib menuruti ingin Laras agar tahu akar masalah besar di masa mendatang kelak.

Sebungkus besar Cheetos rasa jagung bakar diikhlaskan Mirza sepenuh hati ketika Laras mengunyah isinya sembari dipangku Nira di atas sofa. Ketiga pasang mata itu menatap si bocah penuh selidik, berharap ada kata kunci penting meluncur setelah dirasa kenyang.

"Tadi Ayas lihat Bunda ke rumah Om Mija pas di pinggir jalan. Ya udah, Ayas susul aja ke sini."

Batin Mirza berbahagia super karena tak perlu memulai cara bercakap lebih dulu dengan anak kecil. Persis seperti Nira. Curhat sesuka hati tanpa diminta.

"Nama panggilanmu Ayas?" Nira memastikan.

"Iya ih, masa' Bunda lupa? Hahahah.."

"Bundamu pikun, sayang.. maklum aja.. ADOH!!" Belum selesai Ferdi bicara, tendangan maut Nira mengenai lutut kirinya. Laras yang tidak mengerti hanya tertawa-tawa senang, menganggap itu adalah bagian dari lelucon orang tua.

"Sebentar deh, ini hari Sabtu. Kok kamu sekolah?" Mirza beralih penasaran.

"Ayas suka sekolah, Om! Kalau libur, Bunda suka ijinin Ayas pake seragam, tapi cuma sampe siang aja. Habis itu disuruh ganti deh pake baju biasa."

"Ada gitu bocah sekarang suka sekolah kayak Maudy Ayunda.. apa kabar gue yang dulu dikasih PR matematika aja udah nyerah pengen nonton Doraemon aja.." gumam Ferdi meratapi nasib. "Oh! Ngomong-ngomong kalau Om boleh tahu, Ayas tinggal di mana sekarang?"

LARASATI [Proses Penerbitan] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang