20 - Manis, Katanya..

2.6K 403 63
                                    

"Nduk.." ibu datang memasuki kamar Nira, di mana sang pemilik baru selesai didandani oleh make up artist langganan keluarga.

"Eh, Ibu. Keluarga Mas Jesse udah dateng?" Sambut Nira cerah begitu ibu duduk di tepi ranjang bersamanya, tepat setelah MUA tersebut keluar kamar membawa koper rias dan turun ke lantai satu. Bersiap mengecek tampilan sanak saudara yang lain.

"Belum, baru paklik sama bude kamu dari pihak bapak. Keluarga ibu pada nggak bisa semua, Nak, tahu sendiri kan mereka hidup terpisah di kota lain?"

"Iya sih, Bu. Ngomong-ngomong, Nira cantik nggak, Bu, hari ini?"

"Anak kedua Ibu nggak pernah jelek sampai kapan pun." Puji wanita berusia awal 50 tahun itu. "Oh ya, Nir, sebenernya Ibu mau ngomong sama kamu soal ini, tapi entah kenapa waktunya nggak pernah tepat. Mumpung lagi selo, kamu mau dengerin Ibu, ndak?"

Semalam, Nira menangis tersedu-sedu sesampai Cakra mengantarnya pulang ke rumah. Meninggalkan heran dan bingung di benak bapak dan ibu yang membukakan pintu, sementara Cakra sabar sekali menanggapi pertanyaan mereka, semata agar tidak curiga kalau bukan Cakra penyebab kesedihan Nira. Nira pun meminta Asti tidur bersamanya di kamar sang kakak, mencurahkan segala isi hati yang menghimpit sejak terpendam di waktu remaja sampai Nira menemukan sikap Jesse yang menghendaki dirinya sebatas calon adik ipar saja.

Berkali-kali Nira menganggap bodoh logika dan perasaannya, Asti tak kalah sering mengucap kata maaf.

Maaf karena Asti belum bisa menjadi kakak yang baik untuk Nira.

Maaf karena Asti menyukai Jesse namun belum diterima menjadi pasangan semasa sekolah.

Maaf karena Nira harus terluka di luar ingin mereka.

Maaf apabila bapak dan ibu lebih membela Asti menikah dengan Jesse.

Maaf jika hubungan persaudaraan mereka tercemar karena seorang lelaki.

Serta satu lontaran maaf yang hanya Asti ucapkan dalam hati untuk Nira, bila suatu saat nanti ia harus membalas sesuatu yang sama menyakitkannya kepada Jesse.

Di saat keduanya lelah dan tertidur sebelum fajar, ibu lantas berdiskusi dengan bapak, seiring dengan perihnya hati mereka kala tahu Nira berkorban banyak dalam hal ini.

Hingga keputusan pasangan suami istri itu membuahkan hasil yang akan diutarakan kepada si anak kedua sebentar lagi bahwa...

"Kamu nggak ada niat untuk menyembuhkan luka hati kamu, Nir?"

Nira tentu menolehkan kepala ke arah ibu tak percaya. Nira menyangka, seumur hidup hanya Asti yang diperhatikan. Termasuk bagaimana Jesse mudah sekali diterima ketika Asti terpilih sebagai tambatan cinta utama, Nira langsung berpikir kalau bapak dan ibu tak pernah mau mengerti perasaan si gadis ballerina.

"Maksud Ibu?" Tanya Nira yang merasa aneh.

"Maafkan Ibu sama bapak, Nira. Bukan maksud hati kami menyisihkan kamu di keluarga. Selama ini kamu merasa bapak dan Ibu lebih perhatiin Asti, itu karena kamu nggak tahu, kalau Asti kami didik untuk bisa jadi saudara yang baik buat kamu. Makanya, Ibu sama bapak nggak suka kalau Asti bertingkah negatif, Ibu takut kamu nanti meniru dia. Kamu inget waktu Asti Ibu marahi karena pergi ke lounge di ulang tahun temennya pas kelas 1 SMA dan pulang pagi? Itu karena Asti belum cukup umur, Nir, Ibu nggak mau kedekatan kalian itu bikin Asti memberi contoh yang nggak baik buat kamu. Kalau kamu merasa Ibu nggak marahi kamu waktu kamu pergi ke bar pas ulang tahun Mirza, kamu sudah 18 tahun saat itu, Nira. Kamu udah ada SIM, tahu batas untuk nggak minum alkohol, dan karena Ibu tahu juga, Mirza nggak akan mau pulangkan kamu ke rumah dalam keadaan nggak baik-baik aja. Kamu tahu kenapa Ibu marahi Asti dan terima Jesse? Asti mabuk, Nir, dan Jesse anter dia pulang tanpa pernah mau manfaatin kehormatan kakak kamu. Kamu bayangin betapa sakitnya hati Ibu, tapi Ibu juga seneng karena ada teman lelaki Asti yang mau tanggung jawab."

LARASATI [Proses Penerbitan] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang