18. Sosok yang Baru

19 0 0
                                    

"Enggak! Aku nggak mau, Pa!"

Ruangan itu kian mencekam kala dua orang laki-laki beda generasi terus saja beradu argumen dengan pendapat yang berbeda.

"Kamu harus mau! Ini demi masa depan kamu juga!" balas laki-laki yang kulitnya mulai keriput itu.

Lawan bicararanya lantas memiringkan bibirnya ke kiri membentuk senyuman sinis.

Cih! Sejak kapan seseorang yang ada di hadapannya dan juga seseorang yang dipanggil 'papa' itu peduli dengan masa depannya.

"Enggak usah sok bicara masa depan deh, Pa! Aku tahu kok, semua itu hanya demi perusahaan!" balasnya masih dengan nada sinis.

Laki-laki paruh baya itu memijat pelipisnya pelan. Pemuda di hadapannya kini bukan lagi pemuda yang dulu. Pemuda yang selalu menurut apapun perintahnya. Pemuda itu sudah menjadi pembakang yang handal.

"Langit, Papa tanya sama kamu!Apa yang membuatmu menolak perjodohan ini?"

Langit, pemuda itu masih berusaha menahan emosinya. Karena, mau semarah apapun dia saat ini, tidak akan menghapuskan fakta bahwa yang ada di depannya adalah ayah kandungnya, orang tua yang telah merawatnya.

"Pa, umur aku bahkan baru beberapa bulan yang lalu genap tujuh belas tahun, dan sekarang..." Langit menggeleng tak percaya.

Abraham--papanya itu dengan tiba-tiba datang menghampiri dan menyerahkan sebuah foto seorang wanita. Kemudian mengatakan bahwa dia akan segera bertunangan dengan wanita tersebut. Yang benar saja!

"Papa kan tidak menyuruhmu untuk menikah sekarang!" tegas laki-laki paruh baya itu.

"Sekarang atau besok tidak akan berbeda. Keputusan Langit tidak pernah berubah! Sekali tidak tetap tidak!"

Langit segera menyambar jaket kulit yang tergeletak di atas meja. Meraih kunci motor dan keluar meninggalkan papanya.
Beruntung Melanie sedang tidak berada di rumah. Kalau tidak, Langit tidak tahu lagi bagaimana perasaan mamanya itu kala mendengar Langit berdebat dengan papanya.

"Arrrhhhh!!!"Langit mendesak frustrasi. Menarik rambutnya kencang-kencang berharap pusing di kepalanya itu bisa hilang seketika.

Danau di hadapan Langit memang selalu bisa membuatnya merasa lebih tenang. Air yang jernih dan angin sepoi-sepoi yang menerbangkan anak rambutnya selalu menjadi obat penenang kala Langit merasakan keresahan.

Matanya Langit memicing saat menangkap sosok perempuan yang tak asing dengan dirinya.

Dan benar saja!

"Senja!"

Gadis itu terperanjat dan langsung menolehkan pandang. Menatap sosok Langit yang berdiri di belakangnya dengan kening mengerut.

"Langit? Ngapain di sini?" tanya Senja terkejut.

Langit juga terkejut melihat Senja berada di tempat seperti ini. Kalau dia kan memang sering ke sini, tapi tidak pernah melihat Senja sekalipun.

"Aku memang biasa menghabiskan waktu di sini. Tapi, baru kali ini aku lihat kamu?"

Entah itu pertanyaan atau pernyataan dari Langit. Namun, dia bisa melihat Senja tersenyum pendek.

"Oh, iya. Aku memang baru beberapa kali ke sini, "jawab Senja pendek.

"Kamu ngapain sih?" tanya Langit semakin tak mengerti. Pasalnya, Senja tidak sendirian melainkan ditemani oleh beberapa anak-anak yang sedang memegang buku.

"Kita sedang belajar. Kamu mau ikut?" tawar Senja.

Langit tersentak. Ikut belajar bersama anak-anak? Untuk apa?

Langit dan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang