26. Bukan Teman Makan Teman

15 0 0
                                    

"Hai Lik, sendirian aja. Lagi musuhan ya sama Senja?"

Luka melirik gadis yang tengah berbicara padanya dengan tatapan malas. Dia tidak menjawab ucapan gadis itu karena menurutnya sangat tidak penting.

"Kan, apa kita bilang kalau Senja itu enggak sebaik yang lo pikir," lanjut gadis berambut pendek.

Lika masih diam. Menanggapi orang-orang pemghancur seperti mereka adalah hal yang sia-sia. Dari awal pertemuan mereka atau tepatnya awal Lika menginjakan kaki di sekolah ini. Dia sudah menaruh rasa tidak suka kepada tiga gadis yang mendekatinya ini. Bicaranya besar tapi kosong.

"Mau ngapain kalian?" Untuk kali pertama Lika membuka suaranya.

Gadis yang dia tahu bernama Lina maju satu langkah. "Kita di sini berniat baik kok, tawaran buat lo untuk bergabung dengan kita masih berlaku loh," ucapnya.

Lika memutar bola mata malas. "Gue enggak berminat tuh!"

"Yakin? Kita enggak bakal nusuk lo dari belakang, kayak yang Senja udah lakuin."

"Maksud lo?!" Kesabaran Lika sudah habis saat ketiga manusia tidak penting itu membawa-bawa Senja. Dan apa tadi? Kayak yang Senja udah lakuin? Memangnya mereka tahu apa mengenai persahabatannya dengan Senja.

"Hahaha, lo itu polos apa bodoh sih Lik. Gue tahu kali kalo lo suka sama Langit, "ucap cewek berambut panjang.

"Lo?!" Lika menunjuk gadis itu berang. Mukanya memerah menahan kesal.

"Iya, kita tahu. Dan kita juga tahu kalo lo sebenarnya nggak rela Senja pulang bareng Langit, kan?" Gadis berambut panjang tadi menurunkan telunjuk Lika.

"Nggak usah sok tahu!!"

"Udah, mending lo temenan sama kita aja. Senja tuh munafik, nusuk lo diam-diam." Salah satu gadis itu berkata kembali.

Lika mencengkram erat tali tasnya. Mereka benar-benar membuat Lika kesal.

"Cukup ya kalian jelek-jelekin Senja kayak gitu! Kalian itu sama sekali enggak tahu apa-apa tentang gue dan Senja. So, udah lah enggak usah menghayal kalo gue mau bergabung dengan kalian!!!" Lika mendorong bahu Tiwi dengan kasar.

"Eh, lo kok main kasar sih!!" Lina tak terima.

"Kalian pergi sekarang atau gue teriak panggil satpam buat aduin kalian ke kepala sekolah karena cari gara-gara sama gue!" ancam Lika.

"Kita pergi gaes, nggak guna banget ngomong sama orang yang udah kena virus!!"

Lika menggenggam erat gelas putih bermotif bunga sakura di pangkuannya. Pikirannya melayang pada kejadian pulang sekolah siang tadi. Lika memang tidak menyangkal bahwa dia tidak rela Langit pulang dengan Senja, wajar 'kan. Secara, siapa yang rela orang yang dikagumi jalan bersama orang lain.

Tetapi, Lika juga tidak rela jika mereka mengatakan Senja munafik. Senja adalah orang baik, dia tidak mungkin menusuk Lika dari belakang. Seandainya hal itu terjadi pun, apa motif Senja melakukannya.

Karna Langit?

Senja bilang, dia tidak menyukai Langit. Jadi, untuk apa dirinya khawatir jika Senja akan merebut Langit darinya.

Memikirkan Senja membuatnya sakit kepala. Bukan kah sebuah persahabatan akan kokoh jika didasari dengan kepercayaan. Lalu, kenapa malah dirinya menaruh curiga pada Senja.

Lika beranjak meninggalkan balkon kamarnya. Hari sudah larut namun netranya masih betah untuk terbuka. Belum ada niatan sedikit pun untuk terpejam.

Lika berakhir pada postingan instragram seseorang. Siapa lagi kalau bukan instragram milik Langit. Dia memang sepengecut itu untuk mengatakan 'suka'. Tidak ada yang berubah, postingan Langit yang terakhir masih postingannya dua hari yang lalu. Lika mendesah pelan sebelum menutup ponsel dan merebahkan dirinya.

°°°°

Berbeda dengan Lika, Senja justru merasa Langit benar-benar mencoba untuk mendekat padanya. Bukan Senja ingin percaya diri atau apapun. Namun semua perlakuan Langit seperti hal yang tidak wajar untuknya. Tepatnya setelah dia pulang dari rumah sakit hari lalu.

Langit menjadi lebih 'perhatian' padanya. Sering datang ke rumah dengan dalih ingin bertemu dengan Dava, membawakannya banyak makanan dan juga kerap membelikan Dava beberapa mainan.

Tidak ada yang aneh dari sikap Langit, semuanya normal. Namun, hati kecil Senja yang mengatakan bahwa itu semua tidak normal. Seperti, ada hal yang tidak wajar di sini.

"Kak Senja, aku mau tidur. Kakak temenin kak Langit ya?"

Senja melihat Dava yang masuk ke dalam kamarnya dengan muka yang sudah sangat mengantuk. Benar saja ini kan sudah larut.

Senja hanya mengangguk dan menghampiri Langit yang berada di ruang tamu.

"Langit?"

"Ah, Senja. Aku mau pamit ya, main sama Dava bikin aku lupa waktu." Langit menggaruk tengkuknya canggung. Berdiri dan menuju pintu.

"Salam untuk tante Nadia," lanjutnya sebelum benar-benar keluar.

Senja mengangguk dan membiarkan Langit keluar dri rumahnya. Mengantarkannya sampai di depan pintu kemudian menutup pintu kembali setelah Langit sudah meninggalkan rumahnya.

Pikirannya kembali kepada Lika. Jika Lika melihat ini pasti dia akan sangat salah paham.

"Hahaha, bener-bener. Yakali temen makan temen. Munafik kali, ah!"

Senja menggeleng kuat mengingat ucapan Tiwi siang tadi. Dirinya tidak menyukai Langit, dan tidak akan menyukai sampai kapan pun. Jika hal itu terjadi, dia akan memilih untuk memendamnya saja atau bahkan membunuhnya tanpa ada seseorang pun yang tahu mengenai perasaannya.

Lika sudah berbaik hati mau berteman dengannya atau bahkan mereka adalah sahabat. Tidak mungkin jika Senja menghancurkan harapan-harapan Lika kepada Langit. Bukan kah itu hal yang sangat jahat?

Senja tidak akan melakukannya.
Tapi, ada satu hal yang ia lupakan. Bahwa, Allah bisa membolak-balikkan hati manusia dengan mudah.

----------

PS:Cerita teenfiction dalam wattpad ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun judul cerita, maka itu semua hanya kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan dari penulisnya.



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 06, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Langit dan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang